Pada suatu saat kehidupan kami di Laguboti, mendadak hidup kami berubah. Bapak berangkat mengunjungi beberapa daerah di Indonesia.Pada saat itu aku tidak tahu untuk apa, soalnya usiaku masih 10 tahun. Di kemudian hari aku tahu, bapak diminta mengunjungi beberapa daerah di Indonesia, sebagai persiapan untuk hidup di Jerman.Sementara ibuku, aku dan adik-adikku pindah ke Medan untuk sementara waktu. Kami tinggal di rumah Ompung-ku (dari pihak bapak) selama 6 bulan. Kami berhenti sekolah. Sebagai gantinya, kami kursus bahasa Jerman. Guru privat dipanggil ke rumah, yaitu seorang dosen Sastra Jerman dari Unimed Medan (pada saat itu IKIP Medan).
Hmmmm ...ke Jerman! Aku bahkan tidak tahu apa artinya itu. Aku pikir itu suatu daerah di Indonesia juga. Maklum, aku SD di kampung, dimana pada saat itu gurunya aja ngajar pake bahasa Indonesia campur bahasa Batak! Gurunya juga sering tidak datang kalau ada yang mau dikerjakan di sawah atau di ladang. Di luar kelas, para guru berbicara bahasa Batak 100% kepada murid-murid. Di rumah, dengan orangtuaku dan adik-adikku, kami juga berbahasa Batak. Jadilah kami pintar bahasa Batak 90 % dan bahasa Indonesia 10 %. Artinya, aku mengerti bahasa Indonesia, tapi menggunakannya secara lisan ....terbata-bata.
Dulu, kalau kami ke rumah Ompungku, itu sudah suatu kemewahan bagi kami. Ompungku tinggal di Medan di daerah elit lagi, karena beliau memang pejabat. Kalau kami datang, aku suka mencoba duduk di kursi empuknya di ruang tamu. Nyamannnnn .....Soalnya di rumah kami atau di Laguboti aku tidak pernah duduk di kursi se-empuk itu. Tapi Ompung boru-ku (nenek) sering menyuruhku pergi dari kursi itu. Mungkin aku kotor karena dari kampung atau gimana. Aku nggak jelas, tetapi yang kuingat jelas, aku dan adik-adikku yang lain memang diperlakukan beda dengan saudara-saudara sepupuku yang berasal dari keluarga yang mapan. Aku sering mendapatkan perlakuan beda kalau kami cucu-cucunya ngumpul. Sampai sekarang itu pengalaman yang traumatis bagiku. Oleh karena itu aku tidak pernah merasa dekat dengan saudara-saudara sepupuku. Aku merasa minder, jadi aku tidak terlalu ingin kumpul-kumpul dengan mereka.
Ok, aku tidak tahu Jerman itu dimana. Tetapi yang aku heran, tiba-tiba kami seperti orang penting. Diundang makan sana-sini sebagai tanda perpisahan. Padahal pendeta biasa pindah-pindah. Kenapa harus ada undangan makan segala. Ternyata itu karena kami mau pindah ke luar negeri. Pada saat itu aku bahkan tidak tahu pengertian luar negeri itu apa.
Jadilah kami berangkat. Naik pesawat terbang lagi, pertama kali dalam hidupku. Kami naik Singapore Airlines dari Medan menuju Singapur. Dulu belum ada pesawat non-stop jarak jauh. Jadi kami harus menginap satu malam di Singapur. Aku hanya bisa ternganga melihat semua kemewahan itu. Esoknya dari Singapur, kami naik KLM (penerbangan Belanda) ke Frankfurt. Dari Frankfurt, ganti pesawat, langsung terbang ke Duesseldorf.
Sampai di Duesselsorf aku terheran-heran. Ini bukan Indonesia! Ihhhh... orangnya serem ....pirang ...matanya biru .....tubuhnya besar .....Terus gedung-gedung tinggi, jelek banget warnanya, suram gitu. Dan ada salju ......
Kami dijemput oleh seorang wanita jelek, rambutnya pirang, matanya aneh, pipinya merah dan badannya besar. Begitulah pandanganku pada awalnya tentang bule.
Dari Duesseldorf kami dibawa ke kota Wuppertal. Kami ditempatkan di sebuah apartemen. Bapakku dulu diundang oleh VEM (Vereinte Evangelische Mission) ke Jerman untuk bertugas sebagai pendeta di suatu gereja di Jerman.

Untuk pertama kali menyentuh salju. Kami sekeluarga.
Dari jendela apartemen, aku sering memandang keluar. Aku melihat anak-anak Jerman di luar bermain salju sambil tertawa. Bahasa yang mereka gunakan aneh. Sangat beda dengan apa yang kami pelajari di Medan. Di kemudian hari aku mengerti, yang mengajar kami bahasa Jerman menggunakan aksen indo, sangat berbeda dengan aksen Jerman. Jadi aku tidak memahami apa yang dikatakan anak-anak itu.
Akhirnya kami diperbolehkan juga keluar. Untuk pertama kalinya aku menyentuh salju dan .....memakannya. Ihhhhhh....rasanya hambar aja. Tapi kelihatan sangat indah karena salju menutupi semua atap rumah dan pohon-pohon tanpa daun. Dan ....terasa sangattt dingiiinnnnn.....
Kami hanya berada selama 2 minggu di Wuppertal. Setelah itu kami berangkat ke Kota Bochum, dimana kami akan tinggal selama 6 bulan untuk memperdalam bahasa Jerman. Itu ceritanya lain lagi.
0 comments:
Post a Comment