Ketika aku berusia 16,5 tahun, kami harus kembali ke Indonesia. Rasanya sangat menyedihkan karena sebenarnya aku tidak mau pulang. Apa boleh buat, masa kerja bapak di Jerman telah selesai. Pulang ke Indonesia, kami bukannya ditempatkan di kota, melainkan di Tarutung, Tapanuli Utara. Tarutung tidak dapat disebut kota, tetapi desa juga tidak. Pokoknya jauh sekali perbedaannya, dari kota besar di Jerman ke kota kecil bernama Tarutung.
Menyesuaikan diri di Indonesia jauh lebih berat daripada menyesuaikan diri di Jerman. Pertama, rapor sekolah kami dari Jerman tidak diakui! Bayangkan, tidak diakui! Padahal kita jelas semua tahu, pendidikan di Jerman itu lebih baik daripada di Indonesia, apalagi kalau dibandingkan dengan Tarutung. Aku dianggap tidak pernah sekolah!Padahal rapor sekolah kami telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan telah dilegalisir, dan ditandatangani oleh Duta Besar Indonesia di Jerman. Tapi tidak diakui juga. Aku terpaksa harus mengikuti ujian Persamaan SD dan SMP, bersama orang-orang yang tidak lulus SD. Rasanya menyedihkan.
Karena kami hanya bisa sedikit berbahasa Indonesia, terpaksa kami les Bahasa Indonesia! Disamping itu kami diminta les Sejarah dan PPKN, takut rasa nasionalisme kami telah memudar. Pokoknya menyebalkan!
Karena tidak punya ijazah SD dan SMP (karena dari Jerman tidak diakui), aku tidak bisa masuk SMA Negeri. Aku terpaksa sekolah di SMA HKBP Tarutung, sebuah sekolah swasta.
Jangan dikira karena baru pulang dari Jerman, akan diistimewakan. Sama sekali tidak demikian! Malah sangat susah menyesuaikan diri. Terutama di sekolah. Di sekolah ada pelajaran bahasa Jerman. Bagiku pelajaran bahasa Jerman itu seperti pelajaran bahasa Jerman untuk anak SD. Maka aku sangat bosan. Kalau ada ulangan, aku kasih jawabannya ke teman-teman. Akhirnya kalau ulangan, aku diminta keluar kelas dan menyelesaikan ujian di taman sekolah. Aku bisa merasakan kebencian ibu guru bahasa Jerman itu terhadapku. Wajahnya masam terus kalau melihatku. Dia takut, karena aku lebih pintar dalam bahasa Jerman daripada dia.
Aku pernah terlambat datang ke sekolah. Kepalaku langsung dipukul pake gagang sapu. Jelas aku sangat kaget! Di Jerman, guru bahkan tidak boleh mecubit murid.
Terus, sebelum memulai pelajaran dan sebelum pulang sekolah, setiap murid secara bergantian diminta ke depan kelas untuk memimpin doa. Tibalah giliranku. Aku tahunya berdoa hanya dalam bahasa Jerman aja. Dan ketika aku berdoa, semua di kelas tertawa. Aku merasa disepelekan.
Puncaknya ketika pelajaran bahasa Inggris, pelajaran yang sangat kusukai. Kalau di Jerman, murid-murid berlomba untuk menjawab pertanyaan guru. Soalnya sudah dididik seperti itu, berani untuk menjawab. Kalau di Indonesia kan lain. Kalau guru bertanya, semua murid pura-pura menundukkan kepala, atau sibuk buka-buka buku. Nah, begitu juga pada kelas bahasa Inggris. Ibu guru bertanya dan semua menunduk, tidak ada yang bisa menjawab. Hanya aku yang tunjuk tangan, tapi tidak digubris oleh ibu guru. Entah kenapa, sejak awal ibu bahasa Inggris ini tidak menyukaiku. Aku tunjuk tangan tidak digubris. Dia bertanya ke murid lain, tapi nggak bisa dijawab. Aku menganggap dia menyepelekan aku. Dan hal seperti itu tidak boleh terjadi di kelas sekolah di Jerman. Maka aku terus saja tunjuk tangan, dan untuk mencari perhatiannya, aku menjetikkan jari-jariku sampai mengeluarkan bunyi. Ibu guru tiba-tiba melotot kepadaku sambil berkata : "Hey, saya bukan anjing!". Dan dia segera keluar kelas. Lho, aku heran, ada apa? Tidak lama kemudian aku dipanggil ke ruangan Kepala Sekolah. Ternyata ibu itu mengadukan aku langsung ke Kepala Sekolah. Aku dimarahi habis-habisan, dituduh menghina guru. Aku tidak bisa membela diri, bukan karena takut. Tapi karena kaget, soalnya aku tidak pernah diperlakukan seperti itu di Jerman. Akhirnya bapak memang datang ke sekolah dan meminta pengertian sekolah terhadapku yang perlu waktu untuk menyesuaikan diri. Dan itu tidak mudah ..... sama sekali tidak mudah ....
0 comments:
Post a Comment