Kalau dipikir kembali, bisa tinggal di Jerman adalah berkat Tuhan yang luar biasa. Gereja di Köln menyiapkan semuanya untuk kami, termasuk rumah.
Begitu kami tiba di Köln, kami dapat langsung memasuki rumah. Rumah itu terletak di "Meiningerstr. 5, Hoehenberg-Vingst,Köln ". Wah, aku masih ingat persis alamatnya. Rumah itu terletak di daerah yang tenang dan berlantai dua. Di bawah terdapat ruang tamu merangkap ruang makan, ruang kerja bapak, dapur dan kamar mandi. Di lantai atas terdapat 1 WC (toilet) dan 4 kamar tidur. Di bawah ada ruang bawah tanah (Keller) tempat penyimpanan barang-barang. Di belakang rumah terdapat halaman yang luas, ada pohon buah apel, pohon buah plum, dan pohon buah pir. Sementara dari pekarangan rumah tetangga menjulur ke pekarangan rumah kami dahan-dahan pohon buah cherry dan kami dibolehkan bebas mengambilnya bila berbuah.
Aku menempati kamar sendiri yang menghadap ke jalan depan. Di seberang rumah kami terdapat beberapa gedung apartemen, tetapi tidak begitu tinggi, hanya mempunyai 5 lantai. Bila musim dingin, pemandangan dari kamarku sangat indah. Terutama di pagi hari, bila aku bangun, aku langsung menatap keluar. Soalnya jalan penuh salju tebal, demikian juga atap-atap rumah. Semuanya serba putih tertutup salju.
Rumah kami dilengkapi perabot lengkap. Ada kompor listrik dan bahkan ada mesin pencuci piring. Mesin pencuci piring itu, di dalamnya rerdapat rak piring 2 tingkat. Semua peralatan makan dimasukkan ke dalam, masukkan cairan pencuci piring, putar tombolnya, selesai sudah. Setengah jam kemudian bila dibuka, keluar uap panas. Soalnya peralatan makan itu dicuci dengan air panas, dan langsung kering. Di Jerman tidak ada rak piring seperti di Indonesia, jadi dari mesin langsung disusun ke dalam lemari dapur. Praktis dan higienis.
Kamar mandinya pun "mencengangkan". Kami yang terbiasa mandi menggunakan gayung dan ember (soalnya di Laguboti kami mandi di sumur, tidak ada PDAM). Di rumah kami di Köln, kami mempunyai bathtub dan air hangat 24 jam.
Kami mulai memasuki masa sekolah. Aku dan adik-adikku Johnson dan Augustinus masuk SD (Grundschule), sementara Edward si bungsu masuk TK. Aku masuk kelas 4 SD, padahal seharusnya aku masuk di kelas 5 SD karena tidak sekolah selama 1 tahun. Kini SD di Jerman selama 6 tahun. Pada masaku dulu, SD itu selama 4 tahun saja. Karena belum begitu fasih berbahasa Jerman, aku tidak terlalu baik dalam mengikuti pelajaran. Beruntung ada seorang wanita, yang aktivis di gereja kami, datang 3 x seminggu untuk mengajari kami dalam pelajaran sekolah. Tidak dibayar, soalnya dia senang bekerja sosial. Banyak anak-anak yang telah dibantunya. Namanya Frau (Nyonya) Trude Tietig.
Di Jerman sangat banyak orang Turki. Pada tahun 60-an, pada saat di Jerman tenaga kerja sulit dicari, pemerintah Jerman mendatangkan ribuan pekerja dari Turki untuk bekerja di pabrik-pabrik. Sangat banyak yang tidak mau pulang lagi ke Turki, karena mereka merasa lebih nyaman tinggal di Jerman. Apalagi anak-anak mereka yang lahir di Jerman agak sulit beradaptasi dengan kebudayaan Turki (aturan yang ketat terutama terhadap gadis-gadis). Kini bahkan banyak yang menjadi warga negara Jerman. Mereka membentuk mesjid. Membentuk karena tidak semuanya mampu membangun mesjid, jadi suatu ruangan yang luas pun dianggap sebagai mesjid. Banyak toko makanan halal. Tidak heran mereka betah di Jerman.
Salah satu yang berasal dari Turki adalah Selma Oezdemir. Dia adalah seorang gadis sebayaku, lebih tua hanya 3 bulan dariku. Dia berada di kelas yang sama denganku, dan sejak semula dia "mengurus"ku karena aku masih merasa asing. Di kemudian hari, dia memang menjadi "kakak" bagiku. Katanya aku menimbulkan perasaan itu dalam dirinya.Dia adalah sahabat terbaikku (meine beste Freundin).
Masa penyesuaian di Wuppertal dan Bochum

Aku dan Selma dan adiknya Kadir, berpose di depan rumah kami di Koeln. Kami berpakaian seperti itu karena sedang merayakan Karneval.
Aku dan teman-teman kelasku di kelas 3 SMP (kelas IX) di Discothek yang ada di lantai bawah tanah gedung sekolah.Aku paling kiri.Selma nomor 2 dari kiri-ku mengenakan atasan putih dan celana merah.
Di sekolah, kami wajib meminum susu pada saat istirahat. Susu tidak mahal sehingga semua siswa/i mampu untuk membayar bulanan. Kita boleh memilih, mau susu putih, atau susu cokelat. Bukan susu kental manis, dan bukan susu tepung, tetapi susu segar. Setiap hari susu itu diantar ke skolah oleh tukang susu (Milchmann) dalam keadaan hangat.
Sekolah di Jerman - jelas beda!

Kami ketika mengadakan konser kecil di Gereja. Aku nomor 2 dari kiri mengenakan kaus merah
Setelah menyelesaikan kelas 4 SD, aku langsung masuk kelas 5 di Hauptschule. Apaan tuh? Agar tidak membingungkan, ada baiknya aku ceritain dulu bagaimana sistem sekolah di Jerman.
Di Jerman, yang berhak menentukan si anak apakah kelak bisa masuk Perguruan Tinggi atau tidak adalah - guru! Karena guru yang tahu persis kemampuan anak. Jadi,si anak ataupun orangtua tidak bisa menentukan apakah si anak mau kuliah kelak atau tidak. Tidak ada istilah KKN!Dan itu diputuskan guru pada saat si anak masih di kelas 4 SD!!! Jadi pada usia 10-11 tahun. Bila guru menyatakan si anak layak kuliah, dia dimasukkan ke Gymnasium. Itu sekolah lanjutan mulai kelas 5 - 13. Siapa yang sekolah di Gymnasium pasti pintar, dan pasti kelak bisa kuliah, karena memang mampu. Jadi anak-anak Gymnasium adalah kumpulan orang cerdas. Sudah bisa diprediksi bahwa mereka kelak berhasil dalam pekerjaannya. Mereka belajar 3 bahasa asing di sekolah itu, bhs Inggris, bhs Perancis dan bahasa Latin. Btw, adikku Johnson dulunya masuk Gymnasium. Dia kini dokter spesialis kandungan dan sedang mengambil spesialisasi tumor kandungan. Yang kedua adalah sekolah Realschule, yaitu suatu sekolah mulai kelas 5 - 10. Sekolah ini tempat anak-anak cerdas juga tetapi dianggap belum layak masuk Gymnasium. Nah, bila mereka ini telah menyelesaikan kelas 10, dan dianggap mampu, mereka bisa pindah ke Gymnasium mulai kelas 11 - 13. Jadi mereka kelak bisa kuliah. Yang terakhir adalah Hauptschule. Disini sudah jelas, mereka dianggap tidak mampu kuliah, mereka selesai sekolah langsung kerja. Sekolah ini mulai kelas 5 - 10. Jadi di Jerman, anak-anak yang masih berusia 16-17 tahun sudah dianggap layak untuk mulai bekerja (dengan magang dulu). Karena menyelesaikan kelas 10 sama saja dengan di Indonesia menyelesaikan kelas 1 SMA.Beda dengan di negara kita, remaja usia 16-17 tahun masih bergantung pada orangtua.
Wah, aku agak malu juga nih. Aku dimasukkan ke Hauptschule. Tetapi aku merasa bukan tidak mampu masuk Realschule. Gimana mau membuktikan kemampuan, baru setahun sekolah di Jerman, bahasa masih belepotan, dan materi belajarnya itu lho, jauh lebih tinggi dari Indonesia. Mana sebelumnya aku sekolah di kampung lagi, terus langsung sekolah di luar negeri. Dengan Johnson beda, dia 2 tahun sekolah SD baru masuk Gymnasium. Jadi pengetahuan bahasa Jermannya sudah lebih mantap.
Tapi penilaian mereka ada benarnya juga. Setelah aku menyelesaikan SMA di Medan, aku enggan kuliah, aku maunya langsung kerja. Tetapi orangtua tidak membolehkan. Maka aku kuliah itu sebenarnya menyenangkan hati orangtua saja. Jiwaku jiwa pekerja. Makanya mulai Semester 3 aku sudah bekerja sambil kuliah, bukan kuliah sambil bekerja.Aku hampir lupa mengakhiri masa kuliah, karena keasyikan kerja.
Selama di Jerman, ibuku memaksaku dan adikku Johnson untuk ikut kursus flute. Aku dan adikku sampai level Sopran saja (dasar) tetapi ibuku sudah sampai level bass (flute besar). Kami kursus di Gereja, jadi kami sering juga tampil di Gereja bersama perserta kursus yang lain. Tidak jarang kami mengadakan konser kecil di Gereja.
Berlibur ke Indonesia
Setelah tinggal selama 3 tahun di Jerman, kami sekeluarga dibiayai Gereja untuk pulang berlibur ke Indonesia, selama 6 minggu. Saat itu usiaku menjelang 14 tahun. Kami pulang naik pesawat KLM (penerbangan Belanda). Dari Frankfurt ke Amsterdam, terus transit di Abu Dhabi, baru ke Jakarta. Banyak transitnya, soalnya dulu pesawat belum ada yang nonstop.
Orangtuaku tentu saja senang bisa berlibur ke Indonesia. Bagiku biasa-biasa saja, soalnya aku sudah kerasan di Jerman dan sudah seperti remaja Jerman pada umumnya. Tiba di bandara Jakarta, ada beberapa keluarga yang menjemput kami. Aku kan nggak lancar bahasa Indonesia. Karena dari kampung ke Jerman, lancarnya bahasa Batak, bahasa Indonesia tersendat-sendat. Makanya dengan mahasiswa Indonesia di Jerman, kalau mereka datang ke rumah, kami berkomunikasi dalam bahasa Jerman. Soalnya mereka (kebanyakan keturunan Chinese) tidak tahu bahasa Batak dan aku tidak tahu bahasa Indonesia.
Jadi bertemu dengan keluarga di Indonesia, aku agak kesulitan berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Jadilah kami berbahasa Batak. Pokoknya Batak banget ....
Setelah beberapa hari di Jakarta, kami naik pesawat ke Pekanbaru, karena disana banyak saudara dari pihak ibuku. Setelah beberapa hari di Pekanbaru, kami naik pesawat ke Medan. Dimana-mana kami disambut, diundang makan. Aku heran juga, baru kemudian aku tahu ternyata punya keluarga yang tinggal di luar negeri merupakan kebanggaan bagi mereka.
Ada saja keluarga yang minta pakaianku dan sepatuku. Kuberikan saja, pada saat itu aku kurang ngerti kok mereka senang baju dan sepatu bekasku. Ternyata karena buatan Jerman. Sebaliknya malah aku senang beli made in Indonesia seperti pakaian dari bahan Batik. Ketika liburan berakhir, kami terbang lagi ke Jakarta dan dari sana kembali ke Frankfurt.
Sekolah di Jerman - menyenangkan!
Selama sekolah di Jerman, bagiku sungguh menyenangkan. Seingatku, aku tidak pernah malas ke sekolah. Ketika itulah masa terindah dalam usia remajaku.
Pada awal memasuki kelas 5, aku mendapat teman-teman baru lagi, karena sudah di sekolah yang baru. Ada juga beberapa yang berasal dari SD yang sama denganku, termasuk Selma, sahabatku orang Turki. Kami satu kelas dan satu bangku.
Bagi banyak murid di sekolah, tentu saja aku menjadi pemandangan yang aneh bagi mereka. Di sekolah itu, dimana terdapat lebih dari 500 murid, aku satu-satunya orang Asia. Dulu belum begitu banyak orang Asia di Jerman seperti sekarang ini. Teman-teman sering menyentuh rambutku karena sangat hitam, dan mengelus kulit lenganku karena cokelat. Mereka bilang aku cantik!
Ada sejenis anjing dinamakan anjing boxer, dan hidungnya sangat pesek. Nah, karena hidungku pesek, mereka panggil saya Boxernase.Tetapi itu pada awalnya saja mereka usil, lama-lama juga hilang, dan kami malah berteman.
Jadi, apa yang membuat sekolah di Jerman menyenangkan? Pertama sistem belajar mengajarnya. Setiap kelas boleh melukis dinding kelas sesuai dengan thema yang diinginkan. Tidak ada dinding kelas berwarna putih, semuanya berwarna-warni. Kelas kami dilukis dengan pemandangan di tepi pantai. Tentu saja kombinasi warna yang cerah mempengaruhi mood untuk belajar. Belajar juga tidak kaku, kadang-kadang semua meja digeser ke pinggir, dan semua murid diminta untuk duduk di atas kursi membentuk lingkaran. Jadi semua dapat saling memandang. Cara belajar jauh lebih banyak dengan sistem diskusi, sangat jarang ada catatan pelajaran, apalagi yang namanya hafalan. Dengan cara seperti itu, pelajaran langsung lengeket di kepala. Karena materi pelajaran itu dibicarakan, dianalisa, dikupas tuntas. Kalau hanya dicatat, terus dihafal, ditanya bulan depan pasti lupa.
Para guru bisa dijadikan sahabat. Di Jerman, sangat jarang guru yang otoriter, yang ditakuti. Atau guru yang suka marah-marah. Soalnya kalau guru memukul murid, bisa dituntut sama orangtua. Guru di Jerman tidak kaku. Malah ada guru yang menawarkan untuk memanggil nama depannya saja. Walaupun demikian, murid tetap menghormati guru. Di sekolah, murid dilarang merokok. Murid menuntut hal yang sama dari guru, tidak boleh merokok, walaupun pada waktu istirahat atau di halaman sekolah. Dan para guru menyanggupi. Tidak ada sakit hati terhadap murid.
Kalau pelajaran Biologie, langsung masuk ke bioskop mini, yang terdapat di sekolah. Disana langsung belajar dengan cara menonton. Di kelas hanya mencatat sedikit. Beda lagi dengan Kimia dan Fisika, langsung ke Laboratorium. Tidak ada catatan, soalnya semua sudah ada dalam buku pegangan, buat apa lagi mencatat???
Yang paling lucu adalah mata pelajaran Bahasa Inggris dan Matematika. Karena dianggap paling sulit, maka untuk kedua pelajaran ini, dari beberapa kelas digabung menjadi 2 kelas yaitu kelas A dan kelas B. Kelas A adalah tempat berkumpulnya yang jago Matematika. Kalau kelas B harus lebih banyak belajar lagi karena dianggap kurang. Demikian juga dengan Bahasa Inggris. Setiap bulan dievaluasi, kalau seorang murid berada di kelas B, terus selama sebulan itu dia belajar dengan giat dan perkembangannya semakin maju, maka dia pindah ke kelas A. Sebaliknya bila seorang murid di kelas A ternyata nilainya mundur, dia harus pindah ke kelas B untuk belajar lebih intensif lagi.
Nah, aku ini yang aneh, kerjaku pindah terus setiap bulan. Dalam bahasa Inggris dan dalam Matematika. Bila aku bulan ini di kelas A, pasti bulan depannya aku dipindahkan ke kelas B. Bila bulan ini aku di kelas B, pasti bulan depannya aku boleh pindah ke kelas A. Apa artinya? Bahwa aku tidak panas, dan tidak dingin. Yah, sedang-sedang sajalah.
Sekali seminggu ada pelajaran memasak. Di sekolah ada ruangan yang sangat besar, dimana terdapat 5 dapur kecil dengan perlengkapan dapur yang komplit. Semua murid dibagi ke dalam beberapa kelompok, 3 – 4 orang untuk 1 dapur. Ibu guru menuliskan di whiteboard menu makanan yang harus kami masak. Bahan-bahannya semua disiapkan sekolah. Kelompok yang paling baik hasil masakannya mendapat nilai yang tertinggi. Dan masakan kami boleh kami makan.
Sekolahku dulunya adalah sekolah 1 hari, mulai jam 8.00 – 16.00. Siang hari ada istirahat selama 1,5 jam. Banyak kegiatan untuk mengisi waktu istirahat. Ada café dan ada Discothek di lantai bawah tanah. Bayangkan disco siang hari! Semua murid, bila mau makan siang dapat makan di kantin sekolah. Murid yang membayar tetapi dengan harga murah.
Ada juga extrakurikuler di sekolah. Aku memilih bahasa Jerman. Aku senang banget bahasa Jerman. Aku malah lebih baik dari beberapa orang Jerman dalam pelajaran bahasa Jerman. Bukan dalam berbicara tetapi terutama dalam penulisan yang benar. Aku selalu mendapat nilai 10 (atau di Jerman sama dengan nilai 1). Nilai 1 adalah “sehr gut” = sangat baik, sehingga Gereja memberiku beasiswa sebesar 100,- Deutsche Mark setiap bulan selama 6 tahun sejak aku pulang ke Indonesia. Teman-teman menganggap aku aneh kok ambil extra bahasa Jerman. Dari kelasku hanya aku yang ambil bahasa Jerman, digabung dengan kelas lain menjadi 4 orang. Yang 3 orang lagi adalah orang Jerman.
Kalau pelajaran Musik, bukan thoeri melulu, bukan juga praktek langsung alat Musik. Agar tidak bosan, guru pada awal pelajaran mengadakan kuis dulu tentang siapa yang menyanyikan lagu ini atau apa judul lagu itu. Bagi remaja itu sangat menyenangkan.
Wajar saja sekolah di Jerman itu tidak membosankan. Soalnya semuanya dynamis. Walaupun terkesan agak santai tetapi semuanya menganggap sekolah itu serius. Aku tidak pernah merasa takut datang ke sekolah, dan tidak ada guru yang ditakuti. semuanya saling menghargai.
Jalan-jalan ke Belanda dan Swiss
Kami sekeluarga berfoto di Vollendam dengan pakaian tradisional Belanda. Hampir semua turis yang datang ke Belanda akan berfoto seperti ini.

Kami berpose di halaman istana Kerajaan Belanda di Den Haag (hanya bagian istana yang dibuka untuk umum)

Jalan-jalan di kota Amsterdam. Pria bule di tengah adalah suami seorang wanita Batak (kenalan orangtuaku). Kami mengunjungi mereka di Amsterdam

Kami berfoto di Swiss
Ketika di Jerman, kalau libur sekolah, kami selalu pergi berlibur. Tetapi kebanyakan berliburnya ke Hamburg atau Triberg, atau yang dekat-dekat ke kota Koeln saja. Kalau ke luar negeri, sangat jarang, itupun yang dekat-dekat saja. Orangtuaku hemat, selalu menekankan kepada kami, kehidupan kami tidak seperti ini terus.Suatu saat harus pulang ke Indonesia! Mendengar itu saja aku sudah sedih.
Kami pernah ikut tour ke Luksemburg, tetapi hanya 1 hari. Yang kuingat, kami ikut tour naik bus bersama puluhan orang lain yang tidak kami kenal. Terus kami pernah ke Belgia selama beberapa hari, bukan untuk berlibur. Kalau tidak salah ada pertemuan yang berhubungan dengan gereja Indonesia, pendeta Indonesia yang tinggal di Eropa boleh membawa keluarga. Kami pernah ke Swiss selama 2 minggu. Bapakku pernah berkenalan dengan seorang pendeta dari Swiss. Beliau ini punya Cottage di pedesaan di Swiss, di kaki gunung. Kalau kami mau ke Swiss, kami dapat tinggal di Cottage itu selama liburan, gratis. Yang namanya gratis, hal itu cepat dimanfaatkan orangtuaku. Tetapi aku sangat berat ikut, aku sama sekali tidak tertarik. Karena saat itu aku lagi punya pacar. Bagiku sangat membosankan di desa Wildhausen, Swiss, tempat Cottage itu. Di daerah itu memang banyak Cottage yang disewakan. Yang kelihatan hamparan rumput, suara lembu, dan rasa sepi. Itu adalah perasaan seorang remaja yang lagi jatuh cinta dan jauh dari pacarnya. Kalau aku teringat, aku ingin banget kesana lagi, tapi kali ini beda, ingin menikmati.
Kami 2 x berlibur ke Belanda, karena memang dekat dari kota Koeln. Naik mobil selama 2 jam sudah sampai perbatasan Belanda. Menurutku Belanda itu menarik, sangat banyak yang bisa dilihat. Kami pernah menyewa Villa di Scheveningen, tidak jauh dari pantai. Kami jalan-jalan ke Amsterdam dan Den Haag, dimana terletak istana Kerajaan Belanda. Lagipula kesempatan bagi orangtuaku untuk membeli bumbu-bumbu Indonesia, karena di Belanda banyak orang Indonesia. Ke Austria juga sudah pernah, tetapi hanya dekat perbatasan saja, yang penting kaki sudah menginjak wilayah Austria, itu kata orangtuaku dulu. Oh ya, waktu ke Swiss, kami mengunjungi Liechtenstein, yang terletak di wilayah Swiss. Liechtenstein ini adalah suatu negara kerajaan kecil. Sama dengan Monaco yang terletak di wilayah Peancis.
Kehidupan kami di gereja Jerman
Foto bersama teman-teman selama 1 tahun belajar firman Tuhan, akhirnya di-sidi bersama. Aku lain sendiri dengan pakaianku, agak di luar jalur ....
Bapakku di Jerman bertugas sebagai pendeta biasa, di suatu Gereja di Koeln. Di Gereja itu ada 2 orang pendeta yang melayani, satunya adalah Pendeta Christoph Rusteberg (yang lama di kemudian hari menjadi temanku). Bapakku adalah pendeta kedua disana.
Jangan kira hidup di Jerman bergelimang kemewahan. Hidup di Jerman memang tidak mengalami hidup susah, tetapi juga tidak mewah. Untuk standar Indonesia bisa jadi mewah, tetapi untuk standar Jerman istilahnya hidup mapan. Bapakku pada awalnya naik sepeda kalau bekerja. Pendeta bekerja? Apa maksudnya? Ya, di Jerman itu pendeta adalah pelayan, bukan dilayani. Ada jadwal mengunjungi jemaat yang sudah tua atau yang berulangtahun. Banyak kegiatan di Gereja yang harus diawasi. Begitu padatnya jadwal kerja pendeta, sampai pendeta (termasuk bapakku) mempunyai sekretaris pribadi yang bekerja selama setengah hari.Jadi karena belum memiliki mobil, bapakku naik sepeda selama 1 tahun. Tahun ke-2 bapak sudah bisa membeli mobil second Sedan Ford.
Gereja tempat bapak bertugas adalah Gereja "Erloeserkirche Hoehenberg-Vingst". Gereja ini besar, dapat menampung 200 jemaat, tetapi yang datang paling juga 30 orang. Kalau Natal yang datang bisa sampai 100 orang. Banyak yang tidak percaya Tuhan. Atau hanya sebagai jemaat passiv, terdaftar agar bisa menikah di Gereja, agar anak-anak mereka bisa dibaptis di Gereja dsb.
Aku di-sidi di Gereja itu. Istilah itu adalah untuk anak remaja untuk menerima Tuhan Yesus sepenuhnya dalam hidupnya, karena pada usia itu dia sudah mengerti arti menerima Tuhan.Sebelumnya harus belajar 1 x seminggu di Gereja, selama 1 tahun. Pendeta Rusteberg memimpin satu kelompok remaja dan bapakku memimpin satu kelompok lagi. Aku termasuk kelompok Pendeta Rusteberg.
Duapuluh tahun kemudian aku beertemu lagi dengan Pendeta Rusteberg, sejak itu hubungan kami bukan lagi hubungan pendeta dan jemaat melainkan seperti teman, sampai sekarang.
Bapakku di Gereja juga berkhotbah, membaptis dan memberkati pernikahan kudus.
Ada cerita lucu. Di Jerman kalau di-sidi pada umumnya mengenakan pakaian hitam biru donker, putih, atau kombinasi warna itu semua. Terus modelnya juga formil. Aku berpikir, belinya mahal, terus setelah itu mau dipakai kemana pakaian itu? Makanya aku memilih pakaian yang berwarna-warni, setelah itu kemana-mana bisa kupakai. Agak lari dari jalur memang, coba lihat foto di atas. But I don't care what other people think or talk about me ....
Pulang ke Indonesia - betapa sedihnya!
Bapak duduk bersama beberapa pendeta di Gereja dalam rangka ibadah perpisahan kami. Paling kiri adalah Pendeta Christoph Rusteberg
Orangtuaku selalu mengatakan bahwa suatu saat kami akan pulang ke Indonesia. Tetapi ketika harus terjadi, aku tidak kuat menerima kenyataan ini.
Saat itu usiaku 16,5 tahun. Aku tidak ingin pulang tetapi orangtuaku tidak membolehkan aku tinggal di Jerman. Urusannya rumit. Selain itu aku anak perempuan mereka satu-satunya. Aku sudah sangat kerasan di Jerman, bahkan aku sudah berpikir seperti orang Jerman. Ketika datang ke Jerman, usiaku 10,5 tahun. Masih dalam tahap pertumbuhan dalam segala hal, dan pertumbuhanku itu kualami di Jerman. Tentu saja hal tersebut sangat mempengaruhi pola pikirku.
Sangat banyak yang harus kukorbankan. Dari kecil aku sangat suka membaca, dan koleksi buku-ku sangat banyak. Tetapi aku hanya boleh membawa beberapa buku saja, yang lainnya harus kutinggal karena ongkos kirimnya ke Indonesia terlalu mahal. Terus poster-poster artis kesayanganku, benda-benda pribadiku, semuanya harus kutinggal. Aku hanya boleh membawa pakaian saja. Aku merasakan itu kejam, seperti sebagian kehidupanku direnggut secara paksa.
Orangtuaku membawa banyak peralatan elektronik seperti TV 29 inch, Video, mesin cuci pakaian, mesin pencuci piring, alat seterika khusus untuk sprei, kulkas, kompor listrik, 1 set HiFi Stereo, Vacum Cleaner besar dan Projektor. Itu semua diberikan Gereja sebagai hadiah,dan juga segala ongkos pengiriman ke Indonesia ditanggung Gereja. Tetapi ada batasnya, sehingga barang-barang kesukaanku harus dikorbankan demi peralatan elektronik canggih. Dan apa yang terjadi? Di kemudian hari semua peralatan itu tidak bisa dipakai. Soalnya dari Jerman kami dipindahkan ke Tarutung, suatu kota kecil di Tapanuli Utara, Sumatra Utara. Arus listrik tidak cukup, lagipula secara teknis memang tidak cocok dipakai di Indonesia. Maka,semua peralatan itu akhirnya menjadi tak berguna dan tak berharga.
Aku sangat sedih harus berpisah dari teman-temanku. Terutama dengan Selma dan keluarganya. Mereka tinggal di sebuah apartemen, hanya 200 m dari rumah kami. Orangtua Selma sudah menganggap aku sebagai anak mereka, dan aku sangat dekat dengan adik-adik Selma, Kadir dan Rezep (pada saat itu berusia 2 tahun). Duapuluh tahun kemudian, ketika aku berkunjung ke Jerman, aku mengalami kasih mereka yang luar biasa terhadapku.
Kami terbang kembali ke Indonesia. Hatiku benar-benar terkoyak meninggalkan kehidupanku di Jerman. Kelak aku memang sangat sulit menyesuaikan diri di Indonesia. Dari Jerman kami ke Jakarta dulu. Terus kami naik bus ke Semarang dan Salatiga mengunjungi adik-adik bapakku disana. Dari Jakarta kami terbang ke Pekanbaru mengunjungi adik ibuku. Dari Pekanbaru kami terbang ke Medan.
WELCOME TO MY LIFE IN INDONESIA!
0 comments:
Post a Comment