Sunday, January 25, 2009

Pekerjaanku sebagai tourist guide 1985-1991 Sumatra Utara

Pada tahun ke-2 aku kuliah di Fakultas Sastra, Jurusan Pariwisata, Universitas Sumatra Utara, Medan, salah seorang dosenku mengajak aku berkerja sebagai tourist guide. Kebetulan beliau adalah Manager di suatu travel. Beliau mengajakku karena aku bisa menguasai bahasa Jerman. Jadilah aku menjadi guide khusus untuk tamu berbahasa Jerman dari Jerman, Austria dan Swiss.
Bekerja sebagai guide sangat menyenangkan. Tetapi guide harus dibedakan. Ada guide untuk tamu Asia dan ada guide untuk tamu Eropa atau tamu bule. Kalau tamu Asia tidak terlalu senang mendengar penjelasan yang rumit, seperti misalnya tentang politik, ekonomi, sejarah, flora dan fauna dan kehidupan sosial Indonesia. Yang penting makanan enak, bisa shopping, bisa foto-foto dan guidenya lucu. Aku pernah sekali membawa 1 rombongan ibu-ibu dari Jakarta. Setelah itu aku minta ampun tidak mau bawa lagi. Mereka memintaku menceritakan jokes, sementara aku tidak terbiasa. Mereka juga memintaku bernyanyi di bus, dan bila suaraku fals, mereka semakin heboh dan tepung tangan. Yang penting ada yang bisa ditertawakan.
Beda dengan turis bule. Mereka ingin tahu semuanya tentang Indonesia. Beberapa hari sebelum guiding aku selalu mempersiapkan diri dengan banyak membaca tentang Indonesia. Karena mereka juga begitu di negaranya sebelum datang ke Indonesia, sudah membeli dan membaca buku tentang Indonesia. Jadi guide untuk tamu bule harus mempunyai wawasan dan dapat diajak tamu berdiskusi. Guide itu adalah duta bangsa yang membawa nama baik Indonesia. Kalau melihat guide membawa tamu bule, orang akan tahu guide itu tidak bodoh.
Kekuatanku dalam guiding ialah, aku dapat memahami watak tamu bule dan apa yang mereka inginkan. Itu kelebihan bila pernah tinggal di negara bule. Terus dapat berdiskusi dengan mereka. Jadi kita tidak sekedar memberikan informasi, tetapi dapat mendiskusikan informasi itu.
Bekerja sebagai guide menambah wawasan, karena dari tamu-tamu aku juga bisa belajar. Pekerjaan ini membuka pergaulan internasional, dapat mengenal berbagai manusia dengan berbagai karakter, bisa keluar masuk hotel, makanan selalu enak, dan jalan-jalan gratis plus dapat honor dan tip yang lumayan besar. Sungguh pekerjaan yang luar biasa. Aku bahkan pernah 2 x mengunjungi ex-tamuku di Jerman, yaitu Karlheinz dan Hilke Eckardt.
Mengenai makanan, jangan dikira guide itu senang selalu makan enak di hotel dan restoran. Pada hari ke-3 sudah mulai bosan. Makanya kalau menginap di hotel di Pulau Samosir, aku sering meminta ikan teri atau ikan asin ke dapur.
Aku bekerja sebagai guide selama 6 tahun, kemudian aku berhenti karena aku hamil anak pertama. Aku mulai guiding lagi di Kalimantan Timur mulai Juli 2008 (setelah 17 tahun vakum!). Selain itu bisa menjadi sumber penghasilan yang tidak sedikit. Saat ini, aku satu-satunya guide berbahasa Jerman di Kalimantan Timur. Sebelumnya mereka mendatangkan guide Jerman dari Makassar.
Akhirnya memang aku lebih banyak bolosnya daripada kuliah. Soalnya aku lebih banyak menghabiskan waktu untuk bekerja daripada kuliah.Sudah keenakan mencari uang, apalagi aku adalah tipe pekerja. Aku mengambil program D-3. Akhirnya pada tahun ke-4, aku diultimatum, kalau mau tamat harus segera menyelesaikan mata kuliah yang tertinggal. Materi pelajaran mudah bagiku karena aku memang bekerja di bidang Pariwisata. Aku sudah lebih banyak praktek daripada teori. Akhirnya aku memang lulus. Aku diwisuda tetapi ijazah tidak kuambil sampai sekarang. Dulu aku merasa nggak perlu, soalnya nggak ada ijazah pun aku 'laris manis'. Malah aku sempat pindah-pindah travel karena aku dilamar dan bukan aku yang melamar. Semua itu karena pengetahuan bahasa Jermanku. Aku memang sedang mau mengurus agar ijazahku keluar. Pernah seorang Sarjana di lingkunganku menyebarkan berita bahwa aku hanya tamat SMU, hanya karena dia tahu aku belum mempunyai izajah. Padahal foto-foto wisudaku di auditorium USU lengkap lho ... Tapi kubiarkan saja. Terlalu kecil untuk kujadikan menjadi perkasa besar.Siapa sih lo .....???

Di bawah ini aku bersama Hilke Eckardt (kiri), seorang turis dari Jerman. Aku di sebelah kanan. Kami sedang berada di Pasar Buah, Berastagi, Sumatra Utara. Saat itu tahun 1987, ketika aku belum menikah. Aku sangat ingat, karena di kemudian hari Hilke dan suaminya Karl-Heinz menjadi teman dekatku. Alu bahkan sudah 2 kali mengunjungi mereka di Benningen, suatu daerah yang indah di dekat Stuttgart di Jerman. Sampai sekarang kami masih berhubungan melalui E-mail.

Di bawah ini foto-foto bersama turis di Berastagi, Sumatra Utara.



Di Rumah Bolon Pematang Raya Simalungun


Bersama rombongan turis di kebun cokelat di jalur jalan Tebing Tingi - Pematang Siantar (Sumatra Utara).

Menyeberang jalan di Jalan Merdeka Pematang Siantar menuju Pajak Horas.


Stop terakhir sebelum Parapat adalah di Botanical Garden. Disana dapat dilihat tanaman atau pohon eksotis yang tidak ada di Eropa. Tentu saja sangat menarik bagi mereka. Apalagi bila pemiliknya memanjat pohon aren dan mengambil air nira untuk dicicipi turis, seperti foto di atas.


Di Parapat dengan latar belakang Danau Toba


Biasanya kami menginap selama 2 malam di Danau Toba. Kami mengadakan full day tour ke Tomok, Ambarita dan Simanindo. Kemudian makan siang di Pulau Tao yang terpencil dan sepi. Dalam menjalani tour ini kami naik boat yang besar, seperti diatas.
Bila memulai tour di danau Toba selalu dimulai dengan mengunjungi desa Tomok. Biasanya kami menginap di Parapat di Hotel Parapat, di Hotel Danau Toba International atau di Danau Toba Cottage. Kalau di Samosir biasanya di Hotel Silintong, di Hotel Toledo atau di Toba Beach. Kalau soal menjalani hotel-hotel di Sumatra Utara sudah puaslah. Yang dikunjungi di desa Tomok adalah makam Raja Sidabutar. Pada foto-foto di bawah ini aku sedang memberikan penjelasan mengenai Raja Sidabutar kepada turis Jerman. Tentu saja dalam bahasa Jerman. Waktu itu Pariwisata Sumatra Utara sedang booming. Sangat banyak turis yag datang dari berbagai negara. Dari Eropa, yang paling banyak adalah dari Jerman dan Belanda.




Salah satu objek wisata yang kami kunjungi di Pulau Samosir adalah Desa Ambarita, yang berjarak sekitar 10 km dari Desa Tomok. Di Ambarita terdapat tempat duduk dari batu yang dulunya digunakan penduduk desa untuk rapat. Di desa itu juga ada tempat dulunya tawanan dari desa lain dihukum. Ceritanya sih demi kepentingan kekuatan roh orang Batak, tawanan tersebut dipancung kepalanya dan kemudian ada beberapa organ tertentu tawanan tersebut dimakan demi kekuatan roh mereka. Aku selalu bilang ke turisku : hati-hati loh, aku ini keturunan mereka .......(orang Batak)


Aku memberikan informasi kepada turis di desa Ambarita.












Pada malam terakhir di Danau Toba, selalu ada hiburan untuk tamu yang kubawa, bila jumlah mereka di atas 10 orang. Yang tampil adalah sebuah Vocal Group yang menyanyikan lagu-lagu Batak. Sebelum setiap lagu dinyanyikan, aku harus selalu menterjemahkan lebih dulu ke dalam bahasa Jerman arti lagu itu. Maka seperti diataslah bila aku tampil sebagai MC.Dan juga kita diundang makan malam oleh tamu, seperti diatas bersama tamu dari Swiss di Hotel Parapat, Parapat.

Bila program tournya selama 8 hari/7 malam, maka pasti ada program ke Bukit Lawang untuk melihat Pusat Rehabilitasi Orang Utan disana. Tour ini melelahkan. Dari Hotel (biasanya Hotel Dharma Deli Medan) berangkat pukul 4 pagi. Malam sebelumnya aku sudah memesan Lunchbox ke pihak hotel untuk dibawa ke Bukit Lawang, soalnya disana tidak ada tempat yang layak untuk makan. Disini kami hendak naik sampan untuk menyeberang.Aku duduk diatas sampan di bagian tengah. Kelihatan nggak aku ketakutan?

Untuk mencapai Pusat Rehabilitasi Orang Utan harus naik sampan melalui Sungai Bohorok. Kemudian naik bukit setinggi 300 m. Dulu waktu gadis stamina masih oke. Tetapi aku tidak bisa berenang. Makanya aku selalu ketakutan kalau menyeberangi sungai ini.Aku paling kiri di atas sampan.

Mengantar turis ke bandara Polonia, Medan, Sumatra Utara pada tahun 1985. Sebagai guide, apalagi guide untuk turis Eropa, kita harus mengerti budaya mereka. Selama beberapa hari atau selama seminggu tour bersama turis, tentu saja hubungan menjadi dekat. Karena guide bersama tamu seharian. Kalau aku mengantar mereka ke bandara, biasanya turis pria selalu memelukku dan mengucapkan terimakasih. Itu bukan suatu hal yang aneh, karena dilakukan di depan istri mereka. Bagi mereka itu adalah tanda persahabatan. Seperti foto diatas bersama 2 turis pria, itu adalah hal yang sangat wajar.

Mengantar tamu ke bandara Polonia, Medan.


Mulai kuliah ....pintu menuju pergaulan international

Selesai sekolah, aku ingin sekali kuliah bahasa Jerman. Karena aku merasa aku berbakat belajar bahasa asing. Aku tidak mau memaksakan diri memilih suatu bidang study dimana aku mendapatkan gelar tetapi kemudian hari tidak bisa kumanfaatkan, alias jadi ibu rumahtangga aja. Karena aku type pekerja keras. Menurutku, kalau mempelajari bahasa asing sangat banyak peluang kerja.
Maka aku memilih bidang study Sastra Jerman di IKIP Medan, dan aku tidak lulus! Aku sangat jengkel! Nggak ngerti aku sistem pendidikan di Indonesia ini! Kalau kita ikut tes untuk mengambil bidang study bahasa Jerman, seharusnya yang diuji itu kemampuannya dalam bidang bahasa asing! Masa sih yang diuji Matematika???? Belum tentu yang jago Matematika itu berbakat dalam bidang bahasa. Kalau dia mau ambil bidang study Teknik, ya ujilah dia di bidang IPA. Makanya kita sampai sekarang susah maju. Terlalu banyak aturan, tapi hasilnya apa? Aku heran, para petinggi kita banyak lulusan luar negeri. Masa sih mereka nggak bisa ambil yang positifnya dan terapkan di Indonesia???
Aku dapat info bahwa di USU (Universitas Sumatra Utara) ada program extension, yaitu program study D-3 yang diadakan sore hari, dan di bawah naungan USU. Katanya disana ada bidang study bahasa Inggris. Karena bagiku yang penting aku ingin kuliah bahasa asing.
Maka aku pergi ke sana untuk mendaftar. Ketika aku antri di loket pandaftaran, aku melihat loket lain yaitu Sastra Jepang dan Pariwisata. Wah, Pariwisata bidang yang menarik juga dan wajib menguasai bahasa asing. Aku berpikir, Pariwisata ini malah lebih bagus lagi. Aku bisa bekerja di hotel sekalian mempraktekkan bahasa Jerman-ku. Tanpa pikir panjang aku pindah loket dan mendaftar di jurusan Pariwisata. Kemudian ada tes dan aku lulus. Awalnya aku tidak memberitahukan orangtuaku, karena menurutku aku sendiri yang tahu apa yang terbaik bagiku. Yang sesuai dengan kata hatiku, dan bukan kata hati orangtuaku. Ibuku nggak setuju, maka setahun kemudian ibuku menyuruhku ikut tes untuk mengambil bidang study Kedokteran Gigi. Aku bilang ke ibuku aku nggak lulus padahal aku tidak ikut tes.
Selama masa sekolah, aku sudah muak ditanyain terus sama teman2 bagaimana kehidupan dan sekolah di Jerman. Karena setiap orang yang kukenal bertanya maka aku juga sudah muak untuk menjelaskan. Bosan menceritakan yang itu-itu aja! Maka memulai masa kuliah aku tidak mau siapapun tahu bahwa aku pernah tinggal di Jerman. Aku mengaku seorang perantau dari Tarutung. Memang benar kok, orangtuaku kan masih tinggal di Tarutung.
Karena penampilanku dan aku anak kos, ya orang percaya aja aku nggak pernah kemana-mana. Makanya juga pergaulanku terbatas dengan anak-anak kos aja. Selama setahun keadaan berjalan begitu saja. Pada semester ke-3, aku memilih jurusan Tour & Travel karena bekerja di hotel kurang banyak tantangan, alias di hotel aja. Jadi pada semester ke-3 masuk seorang dosen baru, nama beliau Bapak Hazed Djoeli. Beliau manager Biro Perjalanan Nitour pada saat itu. Waktu pertama kali masuk, beliau membawa setumpuk pekejaan. Bukannya langsung belajar, tetapi beliau duduk di barisan paling belakang dan meminta kami satu-satu maju ke depan memperkenalkan diri, dan menceritakan mulai SD – SMA sekolah dimana. Itu mengada-ada, tetapi beliau butuh waktu untuk mengerjakan pekerjaannya maka kami diminta melakukan sesuatu yang konyol seperti itu.
Okay, aku bertekad akan menceritakan bahwa mulai SD aku di Tarutung. Tetapi ketika aku berdiri di depan dan memandang semua teman-teman kuliah, dan Pak Hazed Djoeli, aku tidak mampu untuk berbohong. Aku menceritakan bahwa aku menyelesaikan SD dan SMP di Jerman dan SMA di Medan. Teman-teman kuliahku mulai cekikikan dan bisik-bisik. Aku tahu mereka tidak percaya. Melihat penampilanku sehari-hari siapa juga yang percaya bahwa aku pernah tinggal di Jerman. Mereka berpikir kalau pernah tinggal di luar negeri akan bergaya glamour. Wah, salah besar. Malah sebaliknya, soalnya di Jerman sehari-hari mereka tidak glamour. Jadi teman-temanku berpikir bahwa aku bercanda. Aku sempat juga merasa tersinggung. Tetapi Pak Hazed Djoeli justru menghentikan perkerjaannya dan meminta padaku untuk berbicara beberapa kalimat bahasa Jerman. Dan aku melakukannya. Semua di ruang kuliah terdiam memandangku. Pak Hazed bilang agar aku menjumpainya setelah kuliah selesai.
Beliau menawariku bekerja sebagai guide bahasa Jerman. Kata beliau, guide bahasa Jerman lulusan dalam negeri banyak tetapi lulusan luar negeri sangat sedikit. Maka mulailan teman-teman kuliah memperhitungkan aku. Pergaulanku meningkat. Aku berteman dengan teman-teman dari kelompok yang punya.
Di kemudian hari aku memang kuliah sambil bekerja sebagai guide. Pekerjaan yang sangat menyenangkan. Dimana kita bisa jalan-jalan gratis, mengenal berbagai karakter manusia dari Jerman, Austria dan Swiss. Dan ....dapat honnor yang lumayan pula.

Tinggal di asrama Katolik? Aku tidak kehilangan akal …..


Aku dimasukkan ke asrama Katolik Jalan Hayam Wuruk Medan. Itu pas kenaikan kelas 2 SMA. Rasanya memang aku mau dikurung disini, soalnya benar-benar seperti penjara. Sekolah dan asrama berada dalam satu kompleks, jadi tidak bisa keluar kemana-mana tanpa izin.
Melihat bangunan asrama Katolik dari depan aja sudah seram. Bangunannya model bangunan Belanda. Di samping asrama adalah gereja Katolik. Peraturan disana sangat ketat. Pada hari Sabtu/Minggu tidak boleh keluar, kecuali ada keluarga atau saudara yang menjemput. Aku berpikir, aku tidak akan bisa keluar akhir pekan dari sini karena orangtuaku di Tarutung. Saudaraku yang tinggal di Medan? Apakah akan ada yang mau menjemputku? Sekali dua kali memang ada, tapi setelah itu tidak lagi.
Asrama ini adalah asrama putri dan ada 3 kelompok tinggal disini. Kelompok yang punya, yang menengah dan yang dari kampung karena dibiayai gereja Katolik dan karena mereka Katolik. Asrama ini termasuk mahal maka tidak semua ‘beruntung’ bisa masuk kesini.
Peraturannya sangat ketat! Bangun pagi jam 5, terus mandi. Pukul 6 ada 2 pilihan kegiatan, belajar di ruang belajar yang besar dimana seorang suster dari atas podium mengawasi dengan ketat. Pilihan lainnya ialah pergi ikut misa ke gereja. Bagi yang tidak ada kesadaran belajar, tentu saja dia akan pergi ikut misa, meskipun dia bukan Katolik. Karena lebih nyaman duduk di gereja tanpa berpikir, daripada belajar. Sayangnya .....aku termasuk kelompok yang ‚sangat tertarik’ ikut misa. Tapi kami tidak selalu masuk gereja. kadang-kadang kami lari keluar gerbang gereja dan pergi ke Sekolah Nasrani untuk makan bihun goreng.
Makanan di asrama sama sekali tidak enak! Setiap kali makan, di atas piring sudah ada lauk pauknya, dan ditutup dengan piring yang lain. Dan kita sudah tahu apa menu untuk hari apa, karena menunya itu-itu juga. Yang parah adalah bila ada daging ayam. Tentu aja kalau daging ayam nggak bisa pilih-pilih. Jadi kami selalu berebut yang pertama masuk ke ruang makan yang besar (bisa muat 100 orang) dan mengintip setiap piring mencari bagian ayam yang disukai. Kalau dapat, cepat2 ditukar. Soalnya, setiap orang punya bangku masing-masing dan makanan sudah dibagikan langsung di meja masing-masing.
Disini semua harus mencuci dan menyeterika baju sendiri. Tapi awas kalau lupa mengambil pakaian dari jemuran. Besok pagi sebelum sarapan, beberapa suster masuk ke dalam ruang makan, membawa pakaian yang ketinggalan semalaman di jemuran. Lalu mereka akan bertanya, pakaian itu milik siapa? Si pemilik akan berdiri penuh ketakutan, kemudian kepala suster akan melemparkan salah satu celana dalam ke wajah si empunya, dari jarak 5 meter. Bayangkan dipermalukan seperti itu di depan hampir 100 orang anak perempuan.
Pulang sekolah, langsung makan, baru ganti baju. Setelah itu tidur siang. Jam 15.30 sudah harus berada di ruang belajar. Jam 17.00 s/d jam 18.30 istirahat. Jam 18.30 makan malam. Lalu istirahat lagi. Jam 19.30 masuk ruang belajar sampai jam 21.00. Setelah belajar masuk ke ruang makan, antri untuk mendapatkan teh manis panas, warnanya merah jambu dan pelit gula. Jam 22.00 semua lampu harus dimatikan.
Aku sama sekali tidak suka segala aturan itu. Aku sama sekali tidak suka diatur seperti itu. Suatu saat pada sore hari, gerbang sekolah terbuka, karena ada kegiatan di sekolah. Aku segera berlari keluar ke tukang rujak yang jualan di depan sekolah. Aku membeli rujak, padahal sebenarnya dilarang jajan. Pada saat aku membeli rujak, tiba-tiba datang seorang suster yang sangat judes dan bicaranya kasar dan dia menghampiriku. Dia menyuruhku masuk ke pelataran sekolah, dan mengajakku duduk di sebuah bangku. Dia memaksaku memakan rujak pedas itu sampai habis dalam 10 menit! Setelah itu, dia menyuruhku menyapu pekarangan asrama yang menghadap ke jalan besar. Itu semuanya sebagai hukuman!
Aku stres tinggal di asrama. Bayangkan, sangat jarang melihat dunia luar asrama! Pada suatu saat aku sakit dan aku dijemput ompungku ke rumahnya di Medan. Aku disuruh pergi berobat ke dokter umum yang ada di dekat rumah ompung. Dokter itu baik sekali. Aku menceritakan penderitaanku di asrama. Aku meninta tolong padanya untuk menulis di resep bahwa aku tidak cocok tinggal di asrama, makanya sakit. Dan dia memang menuliskannya! Itulah tiketku keluar dari asrama. Karena kemudian orangtuaku memindahkan aku ke rumah ompungku. Aku tetap sekolah di SMA Katolik itu, tapi aku tinggal di luar. Aku sering memandang kasihan kepada beberapa teman yang pulang sekolah langsung masuk asrama. Tetapi kini kusadari bahwa memang disiplin di asrama itu baik. Aku menyesal karena tidak betah disana. Hampir semua yang pernah tinggal disana berhasil dalam pendidikan atau pekerjaan.

Thursday, January 22, 2009

Kembali ke Indonesia ....


Ketika aku berusia 16,5 tahun, kami harus kembali ke Indonesia. Rasanya sangat menyedihkan karena sebenarnya aku tidak mau pulang. Apa boleh buat, masa kerja bapak di Jerman telah selesai. Pulang ke Indonesia, kami bukannya ditempatkan di kota, melainkan di Tarutung, Tapanuli Utara. Tarutung tidak dapat disebut kota, tetapi desa juga tidak. Pokoknya jauh sekali perbedaannya, dari kota besar di Jerman ke kota kecil bernama Tarutung.
Menyesuaikan diri di Indonesia jauh lebih berat daripada menyesuaikan diri di Jerman. Pertama, rapor sekolah kami dari Jerman tidak diakui! Bayangkan, tidak diakui! Padahal kita jelas semua tahu, pendidikan di Jerman itu lebih baik daripada di Indonesia, apalagi kalau dibandingkan dengan Tarutung. Aku dianggap tidak pernah sekolah!Padahal rapor sekolah kami telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan telah dilegalisir, dan ditandatangani oleh Duta Besar Indonesia di Jerman. Tapi tidak diakui juga. Aku terpaksa harus mengikuti ujian Persamaan SD dan SMP, bersama orang-orang yang tidak lulus SD. Rasanya menyedihkan.
Karena kami hanya bisa sedikit berbahasa Indonesia, terpaksa kami les Bahasa Indonesia! Disamping itu kami diminta les Sejarah dan PPKN, takut rasa nasionalisme kami telah memudar. Pokoknya menyebalkan!
Karena tidak punya ijazah SD dan SMP (karena dari Jerman tidak diakui), aku tidak bisa masuk SMA Negeri. Aku terpaksa sekolah di SMA HKBP Tarutung, sebuah sekolah swasta.
Jangan dikira karena baru pulang dari Jerman, akan diistimewakan. Sama sekali tidak demikian! Malah sangat susah menyesuaikan diri. Terutama di sekolah. Di sekolah ada pelajaran bahasa Jerman. Bagiku pelajaran bahasa Jerman itu seperti pelajaran bahasa Jerman untuk anak SD. Maka aku sangat bosan. Kalau ada ulangan, aku kasih jawabannya ke teman-teman. Akhirnya kalau ulangan, aku diminta keluar kelas dan menyelesaikan ujian di taman sekolah. Aku bisa merasakan kebencian ibu guru bahasa Jerman itu terhadapku. Wajahnya masam terus kalau melihatku. Dia takut, karena aku lebih pintar dalam bahasa Jerman daripada dia.
Aku pernah terlambat datang ke sekolah. Kepalaku langsung dipukul pake gagang sapu. Jelas aku sangat kaget! Di Jerman, guru bahkan tidak boleh mecubit murid.
Terus, sebelum memulai pelajaran dan sebelum pulang sekolah, setiap murid secara bergantian diminta ke depan kelas untuk memimpin doa. Tibalah giliranku. Aku tahunya berdoa hanya dalam bahasa Jerman aja. Dan ketika aku berdoa, semua di kelas tertawa. Aku merasa disepelekan.
Puncaknya ketika pelajaran bahasa Inggris, pelajaran yang sangat kusukai. Kalau di Jerman, murid-murid berlomba untuk menjawab pertanyaan guru. Soalnya sudah dididik seperti itu, berani untuk menjawab. Kalau di Indonesia kan lain. Kalau guru bertanya, semua murid pura-pura menundukkan kepala, atau sibuk buka-buka buku. Nah, begitu juga pada kelas bahasa Inggris. Ibu guru bertanya dan semua menunduk, tidak ada yang bisa menjawab. Hanya aku yang tunjuk tangan, tapi tidak digubris oleh ibu guru. Entah kenapa, sejak awal ibu bahasa Inggris ini tidak menyukaiku. Aku tunjuk tangan tidak digubris. Dia bertanya ke murid lain, tapi nggak bisa dijawab. Aku menganggap dia menyepelekan aku. Dan hal seperti itu tidak boleh terjadi di kelas sekolah di Jerman. Maka aku terus saja tunjuk tangan, dan untuk mencari perhatiannya, aku menjetikkan jari-jariku sampai mengeluarkan bunyi. Ibu guru tiba-tiba melotot kepadaku sambil berkata : "Hey, saya bukan anjing!". Dan dia segera keluar kelas. Lho, aku heran, ada apa? Tidak lama kemudian aku dipanggil ke ruangan Kepala Sekolah. Ternyata ibu itu mengadukan aku langsung ke Kepala Sekolah. Aku dimarahi habis-habisan, dituduh menghina guru. Aku tidak bisa membela diri, bukan karena takut. Tapi karena kaget, soalnya aku tidak pernah diperlakukan seperti itu di Jerman. Akhirnya bapak memang datang ke sekolah dan meminta pengertian sekolah terhadapku yang perlu waktu untuk menyesuaikan diri. Dan itu tidak mudah ..... sama sekali tidak mudah ....

Wednesday, January 21, 2009

Liburan ke Indonesia .....


Ketika usiaku 14 tahun, kami liburan ke Indonesia. Dari Frankfurt kami ke Jakarta. Di bandara, ada beberapa keluarga yang menjemput kami. Ya, disambut dengan baik-lah. Soalnya kan ada keluarga datang dari luar negeri, gitu loh ......Aku disapa dengan bahasa Indonesia, pake deh, sih, dong lagi. Aku kan lebih lancar bahasa Batak, bahasa Indonesiaku malah terpatah-terpatah. Makanya dengan mahasiswa keturunan Cina di Jerman, kami komunikasi dalam bahasa Jerman. Soalnya mereka nggak tahu bahasa Batak dan aku nggak tahu bahasa Indonesia.
Keluarga besarku tahu kami dari kampung tembak langsung ke Jerman. Mereka pikir kami ini sudah makin modern-lah, nggak tahu bahasa Batak. Makanya disapa dan diajak bicara dalam bahasa Indonesia plus deh, sih, dong. Karena aku menjawab dengan terbata-bata, akhirnya mereka mengalah dan berbicara Batak dengan kami. Maka lancarlah pemibicaraan kami. Dan mereka kaget, bahasa Batak kami Batak banget …..ya namanya juga dari Laguboti. Selain itu, di Jerman kami sekeluarga juga berbicara sehari-hari dengan bahasa Batak.
Selama beberapa hari di Jakarta, kami terbang ke Pekanbaru, mengunjungi kakak laki-laki dari ibuku. Beberapa hari disana, kami terbang ke Medan. Wah, dimana-mana kami diundang makan. Saudara yang dulunya menganggap remeh kami, tiba-tiba bersikap manis. Dulunya menganggap sepele karena kami orang kampung, tiba-tiba ngaku : itu yang dari Jerman itu keluarga kami lho ......Yah, namanya juga manusia. Normal toh seperti itu.
Yang membuatku geli adalah, betapa mereka sangat menginginkan pakaianku dan sepatuku. Soalnya made in Germany. Bagiku dulu itu barang-barang biasa. Jadi kalau ada yang minta, aku berikan aja. Aku malah suka baju-baju Batik dan beli sepatu di Medan. Semuanya untuk dibawa ke Jerman. Aneh ya.
Kami berada di Indonesia selama 6 minggu. Pulang ke Jerman, dengan bangga aku mengenakan gaun Batik ke sekolah. Eh, malah aku ditertawakan. Menurut mereka kainnya aneh. Yah namanya juga anak-anak, nggak ngerti Batik itu apa. Sayangnya aku terpengaruh, dan tidak memakai Batik itu lagi. Yah, namanya juga aku anak-anak.

Berjuang untuk diterima di Jerman ...


profile editor

profile editor


Bagi orang asing hidup di Jerman bisa sulit tetapi bisa juga mudah. Kita akan mengalami kesulitan berbaur dengan orang Jerman kalau kita tidak membuka diri dan tidak menyesuaikan diri. Namanya kita datang ke negara mereka, masa mereka yang harus menyesuaikan diri dengan kita??? Tetapi kalau kita membuka diri, mereka akan cepat menerima kita, kok.
Dari awal aku sudah mengalami kesulitan. Aku agak terasing, sama dengan orang-orang asing lainnya seperti dari Turki dan Italia. Orangtuaku selalu bilang, kita hanya sementara di Jerman, jadi ambil kesempatan untuk bergaul dengan orang Jerman. Ya, aku memang mau ambil kesempatan itu. Lagipula, kalau aku tidak bergaul dengan mereka, bahasa Jerman-ku tidak akan maju.
Aku ingin bergabung dengan mereka, bukan sekedar bergabung, tetapi masuk ke dalam suatu geng yang populer. Pada saat itu lagi trend „Popper“. Itu potongan rambut pendek dengan poni menutupi setengah wajah. Terus celana panjang, di bagian paha longgar, bagian bawah mengecil. Mereka juga suka ngumpul dan merokok di kamar mandi.
Aku kebalikan dari mereka. Aku polos dan tidak gaya. Akhirnya aku bertekad meniru mereka dengan harapan akan diterima di kelompok mereka.
Pertama, aku pergi ke salon agar rambutku bergaya „Popper“. Terus aku mulai mengubah gaya berpakaianku dengan lebih modis. Dan terakhir, aku belajar merokok! Aku belajar merokok di depan cermin. Selama berhari-hari.Aku tahu ini tidak pantas ditiru, tapi pada saat itu aku masih berusia 13 tahun. Ingin membuktikan diri, walaupun itu tidak selalu baik.
Tibalah saatnya aku tampil baru. Mula-mula mereka tidak terlalu memperhatikan. Siapa sih yang mau memperhatikan orang Asia dengan hidung pesek?? Pada jam istirahat, aku masuk kamar mandi dan ikut merokok. Kamar mandi disana itu bersih, makan snack pun di kamar mandi nggak apa2. Akhirnya mereka perhatikan juga, dan lambat laun aku diterima. Aku berubah menjadi seorang gadis yang diperhitungkan.
Apalagi aku mempunyai bakat yang tidak mereka miliki, yaitu menyanyi dan menari. Sebenarnya sih aku nggak bagus-bagus amat untuk ukuran Indonesia, tetapi untuk ukuran mereka yang kebanyakan nyanyi-nya fals dan tubuh nggak lentur untuk menari, aku masih di atas angin. Apalagi kalau soal menyanyi, guru Musik kami pernah memintaku di kelas menyanyikan „Woman in love“ milik Barbara Streisand. Semua di dalam kelas tediam. Terus aku juga pernah jadi koreografer ketika ada pesta sekolah dan para orangtua diundang. Pokoknya aku mulai diperhitungkan. Dengan demikian bahasa Jerman-ku semakin lancar karena pergaulanku dengan mereka.
Aku memang suka belajar bahasa Jerman. Ada kegiatan ekstra kurikuler bahasa Jerman, dan hanya sedikit sekali yang ambil kurikulum ini, termasuk aku. Makanya aku dapat nilai 10 dalam pelajaran bahasa Jerman, mengalahkan orang Jerman sendiri. Karena itu, gereja tempat bapak bertugas memberiku beasiswa selama 6 tahun sesudah aku pulang ke Indonesia.
Begitulah, kalau tinggal di negeri orang, bukalah diri. Bukan harus menerima semua budaya mereka. Setiap hari kita selalu mendengar : Jangan tiru budaya Barat! – Memang benar, jangan tiru. Maksudnya, jangan tiru yang buruknya, tirulah yang baiknya. Satu hal yang kuperhatikan dari mereka, etika mereka tinggi dan menghargai orang lain serta memberikan penghargaan terhadap karya orang lain. Lagipula, marilah kita menyadari, kita diberikan kesempatan menghirup udara di negara mereka, menggunakan air, dan memijak tanah mereka. Marilah kita menyesuaikan diri dengan mereka. Kalau kita hanya tahunya menghujat orang Barat, kenapa anak-anak kita sekolah disana, kenapa kita menggunakan produk-produk mereka. Kenapa kita mempelajari Matematika, Fisika, Kimia, Bilogie dan masih banyak lagi yang lain, yang merupakan hasil pemikiran cemerlang orang-orang Barat? Tanpa mereka Indonesia ini akan jadi apa? Semua teknologie canggih ini hasil karya mereka. Marilah kita renungkan!
free myspace layouts

free myspace layouts

Tuesday, January 20, 2009

Aku dibilang cantik? Masa sih ....


myspace layout images

myspace layout


Waktu aku masuk kelas 5 SD di Köln, aku pindah sekolah ke Hauptschule karena SD memang hanya sampai kelas 4. Berarti aku bertemu teman-teman baru. Hanya ada beberapa teman SD yang ikut masuk di sekolah ini, termasuk Selma, yang satu kelas denganku di kelas 4 SD. Jadi hampir semua di dalam kelas ini baru kukenal. Pada saat itu aku satu-satunya orang Asia di sekolah itu (adikku Agustinus masuk 2 tahun kemudian ke sekolah ini). Dari lebih 500 orang pelajar mulai kelas 5 s/d kelas 10, aku satu-satunya orang Asia! Yang lainnya orang Turki, Italia, Polandia dan Jerman. Tentu aja aku menarik perhatian. Di kelas aku dikatakan cantik! Hahahahahaha! Padahal aku tahu aku tidak cantik. Aku merasa diriku diperlakukan seperti mahkluk aneh. Soalnya lenganku dielus : cantiknya kulitmu, begitu cokelat! – Terus rambutku dielus juga : betapa cantik rambutmu, begitu hitam dan lebat!
Aku sampai risih sering disentuh seperti itu, sampai beberapa minggu kemudian mereka terbiasa dengan diriku. Mereka itu menganggapku cantik, karena bagi mereka aku itu eksotis. Mereka ingin mempunyai kulit cokelat, makanya mereka senang berjemur. Mereka menginginkan rambut yang hitam, makanya banyak diantara mereka mewarnai rambut menjadi hitam. Makanya mereka mengatakan aku cantik. Sama saja seperti kita. Kita juga ingin seperti orang bule, ingin putih dan ingin rambut pirang.
Tapi ada juga beberapa murid laki-laki yang tidak menganggap aku cantik. Mereka suka meledek aku : Chinese ….Chinese …..mereka pikir aku orang Cina. Atau : Schlitzaugen ……mata sipit …..atau Boxernase …..karena hidungku mirip anjing Boxer …..atau Plattnase ……atau hidup pesek …..wah macam-macam. Itu biasanya dilontarkan pada saat istirihat jadi banyak orang lain mendengar. Dulu aku tersinggung dan sering hampir menangis. Tapi kini aku mengerti, namanya juga anak-anak.
layouts myspace

layouts myspace

Memulai kehidupan baru di Köln, Jerman

myspace layouts

myspace layouts


Kalau dipikir kembali, bisa tinggal di Jerman adalah berkat Tuhan yang luar biasa. Gereja di Köln menyiapkan semuanya untuk kami, termasuk rumah.
Begitu kami tiba di Köln, kami dapat langsung memasuki rumah. Rumah itu terletak di "Meiningerstr. 5, Hoehenberg-Vingst,Köln ". Wah, aku masih ingat persis alamatnya. Rumah itu terletak di daerah yang tenang dan berlantai dua. Di bawah terdapat ruang tamu merangkap ruang makan, ruang kerja bapak, dapur dan kamar mandi. Di lantai atas terdapat 1 WC (toilet) dan 4 kamar tidur. Di bawah ada ruang bawah tanah (Keller) tempat penyimpanan barang-barang. Di belakang rumah terdapat halaman yang luas, ada pohon buah apel, pohon buah plum, dan pohon buah pir. Sementara dari pekarangan rumah tetangga menjulur ke pekarangan rumah kami dahan-dahan pohon buah cherry dan kami dibolehkan bebas mengambilnya bila berbuah.
Aku menempati kamar sendiri yang menghadap ke jalan depan. Di seberang rumah kami terdapat beberapa gedung apartemen, tetapi tidak begitu tinggi, hanya mempunyai 5 lantai. Bila musim dingin, pemandangan dari kamarku sangat indah. Terutama di pagi hari, bila aku bangun, aku langsung menatap keluar. Soalnya jalan penuh salju tebal, demikian juga atap-atap rumah. Semuanya serba putih tertutup salju.
Rumah kami dilengkapi perabot lengkap. Ada kompor listrik dan bahkan ada mesin pencuci piring. Mesin pencuci piring itu, di dalamnya rerdapat rak piring 2 tingkat. Semua peralatan makan dimasukkan ke dalam, masukkan cairan pencuci piring, putar tombolnya, selesai sudah. Setengah jam kemudian bila dibuka, keluar uap panas. Soalnya peralatan makan itu dicuci dengan air panas, dan langsung kering. Di Jerman tidak ada rak piring seperti di Indonesia, jadi dari mesin langsung disusun ke dalam lemari dapur. Praktis dan higienis.
Kamar mandinya pun "mencengangkan". Kami yang terbiasa mandi menggunakan gayung dan ember (soalnya di Laguboti kami mandi di sumur, tidak ada PDAM). Di rumah kami di Köln, kami mempunyai bathtub dan air hangat 24 jam.
Kami mulai memasuki masa sekolah. Aku dan adik-adikku Johnson dan Augustinus masuk SD (Grundschule), sementara Edward si bungsu masuk TK. Aku masuk kelas 4 SD, padahal seharusnya aku masuk di kelas 5 SD karena tidak sekolah selama 1 tahun. Kini SD di Jerman selama 6 tahun. Pada masaku dulu, SD itu selama 4 tahun saja. Karena belum begitu fasih berbahasa Jerman, aku tidak terlalu baik dalam mengikuti pelajaran. Beruntung ada seorang wanita, yang aktivis di gereja kami, datang 3 x seminggu untuk mengajari kami dalam pelajaran sekolah. Tidak dibayar, soalnya dia senang bekerja sosial. Banyak anak-anak yang telah dibantunya. Namanya Frau (Nyonya) Trude Tietig.
Di Jerman sangat banyak orang Turki. Pada tahun 60-an, pada saat di Jerman tenaga kerja sulit dicari, pemerintah Jerman mendatangkan ribuan pekerja dari Turki untuk bekerja di pabrik-pabrik. Sangat banyak yang tidak mau pulang lagi ke Turki, karena mereka merasa lebih nyaman tinggal di Jerman. Apalagi anak-anak mereka yang lahir di Jerman agak sulit beradaptasi dengan kebudayaan Turki (aturan yang ketat terutama terhadap gadis-gadis). Kini bahkan banyak yang menjadi warga negara Jerman. Mereka membentuk mesjid. Membentuk karena tidak semuanya mampu membangun mesjid, jadi suatu ruangan yang luas pun dianggap sebagai mesjid. Banyak toko makanan halal. Tidak heran mereka betah di Jerman.
Salah satu yang berasal dari Turki adalah Selma Oezdemir. Dia adalah seorang gadis sebayaku, lebih tua hanya 3 bulan dariku. Dia berada di kelas yang sama denganku, dan sejak semula dia "mengurus"ku karena aku masih merasa asing. Di kemudian hari, dia memang menjadi "kakak" bagiku. Katanya aku menimbulkan perasaan itu dalam dirinya.Dia adalah sahabat terbaikku (meine beste Freundin).





Masa penyesuaian di Wuppertal dan Bochum




Aku dan Selma dan adiknya Kadir, berpose di depan rumah kami di Koeln. Kami berpakaian seperti itu karena sedang merayakan Karneval.

Aku dan teman-teman kelasku di kelas 3 SMP (kelas IX) di Discothek yang ada di lantai bawah tanah gedung sekolah.Aku paling kiri.Selma nomor 2 dari kiri-ku mengenakan atasan putih dan celana merah.


Di sekolah, kami wajib meminum susu pada saat istirahat. Susu tidak mahal sehingga semua siswa/i mampu untuk membayar bulanan. Kita boleh memilih, mau susu putih, atau susu cokelat. Bukan susu kental manis, dan bukan susu tepung, tetapi susu segar. Setiap hari susu itu diantar ke skolah oleh tukang susu (Milchmann) dalam keadaan hangat.





Sekolah di Jerman - jelas beda!



Kami ketika mengadakan konser kecil di Gereja. Aku nomor 2 dari kiri mengenakan kaus merah

Setelah menyelesaikan kelas 4 SD, aku langsung masuk kelas 5 di Hauptschule. Apaan tuh? Agar tidak membingungkan, ada baiknya aku ceritain dulu bagaimana sistem sekolah di Jerman.
Di Jerman, yang berhak menentukan si anak apakah kelak bisa masuk Perguruan Tinggi atau tidak adalah - guru! Karena guru yang tahu persis kemampuan anak. Jadi,si anak ataupun orangtua tidak bisa menentukan apakah si anak mau kuliah kelak atau tidak. Tidak ada istilah KKN!Dan itu diputuskan guru pada saat si anak masih di kelas 4 SD!!! Jadi pada usia 10-11 tahun. Bila guru menyatakan si anak layak kuliah, dia dimasukkan ke Gymnasium. Itu sekolah lanjutan mulai kelas 5 - 13. Siapa yang sekolah di Gymnasium pasti pintar, dan pasti kelak bisa kuliah, karena memang mampu. Jadi anak-anak Gymnasium adalah kumpulan orang cerdas. Sudah bisa diprediksi bahwa mereka kelak berhasil dalam pekerjaannya. Mereka belajar 3 bahasa asing di sekolah itu, bhs Inggris, bhs Perancis dan bahasa Latin. Btw, adikku Johnson dulunya masuk Gymnasium. Dia kini dokter spesialis kandungan dan sedang mengambil spesialisasi tumor kandungan. Yang kedua adalah sekolah Realschule, yaitu suatu sekolah mulai kelas 5 - 10. Sekolah ini tempat anak-anak cerdas juga tetapi dianggap belum layak masuk Gymnasium. Nah, bila mereka ini telah menyelesaikan kelas 10, dan dianggap mampu, mereka bisa pindah ke Gymnasium mulai kelas 11 - 13. Jadi mereka kelak bisa kuliah. Yang terakhir adalah Hauptschule. Disini sudah jelas, mereka dianggap tidak mampu kuliah, mereka selesai sekolah langsung kerja. Sekolah ini mulai kelas 5 - 10. Jadi di Jerman, anak-anak yang masih berusia 16-17 tahun sudah dianggap layak untuk mulai bekerja (dengan magang dulu). Karena menyelesaikan kelas 10 sama saja dengan di Indonesia menyelesaikan kelas 1 SMA.Beda dengan di negara kita, remaja usia 16-17 tahun masih bergantung pada orangtua.
Wah, aku agak malu juga nih. Aku dimasukkan ke Hauptschule. Tetapi aku merasa bukan tidak mampu masuk Realschule. Gimana mau membuktikan kemampuan, baru setahun sekolah di Jerman, bahasa masih belepotan, dan materi belajarnya itu lho, jauh lebih tinggi dari Indonesia. Mana sebelumnya aku sekolah di kampung lagi, terus langsung sekolah di luar negeri. Dengan Johnson beda, dia 2 tahun sekolah SD baru masuk Gymnasium. Jadi pengetahuan bahasa Jermannya sudah lebih mantap.
Tapi penilaian mereka ada benarnya juga. Setelah aku menyelesaikan SMA di Medan, aku enggan kuliah, aku maunya langsung kerja. Tetapi orangtua tidak membolehkan. Maka aku kuliah itu sebenarnya menyenangkan hati orangtua saja. Jiwaku jiwa pekerja. Makanya mulai Semester 3 aku sudah bekerja sambil kuliah, bukan kuliah sambil bekerja.Aku hampir lupa mengakhiri masa kuliah, karena keasyikan kerja.
Selama di Jerman, ibuku memaksaku dan adikku Johnson untuk ikut kursus flute. Aku dan adikku sampai level Sopran saja (dasar) tetapi ibuku sudah sampai level bass (flute besar). Kami kursus di Gereja, jadi kami sering juga tampil di Gereja bersama perserta kursus yang lain. Tidak jarang kami mengadakan konser kecil di Gereja.




Berlibur ke Indonesia

Setelah tinggal selama 3 tahun di Jerman, kami sekeluarga dibiayai Gereja untuk pulang berlibur ke Indonesia, selama 6 minggu. Saat itu usiaku menjelang 14 tahun. Kami pulang naik pesawat KLM (penerbangan Belanda). Dari Frankfurt ke Amsterdam, terus transit di Abu Dhabi, baru ke Jakarta. Banyak transitnya, soalnya dulu pesawat belum ada yang nonstop.
Orangtuaku tentu saja senang bisa berlibur ke Indonesia. Bagiku biasa-biasa saja, soalnya aku sudah kerasan di Jerman dan sudah seperti remaja Jerman pada umumnya. Tiba di bandara Jakarta, ada beberapa keluarga yang menjemput kami. Aku kan nggak lancar bahasa Indonesia. Karena dari kampung ke Jerman, lancarnya bahasa Batak, bahasa Indonesia tersendat-sendat. Makanya dengan mahasiswa Indonesia di Jerman, kalau mereka datang ke rumah, kami berkomunikasi dalam bahasa Jerman. Soalnya mereka (kebanyakan keturunan Chinese) tidak tahu bahasa Batak dan aku tidak tahu bahasa Indonesia.
Jadi bertemu dengan keluarga di Indonesia, aku agak kesulitan berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Jadilah kami berbahasa Batak. Pokoknya Batak banget .... Sampai orang bepikir : masa sih orang begini tinggal di Jerman ....
Setelah beberapa hari di Jakarta, kami naik pesawat ke Pekanbaru, karena disana banyak saudara dari pihak ibuku. Setelah beberapa hari di Pekanbaru, kami naik pesawat ke Medan. Dimana-mana kami disambut, diundang makan. Aku heran juga, baru kemudian aku tahu ternyata punya keluarga yang tinggal di luar negeri merupakan kebanggaan bagi mereka.
Ada saja keluarga yang minta pakaianku dan sepatuku. Kuberikan saja, pada saat itu aku kurang ngerti kok mereka senang baju dan sepatu bekasku. Ternyata karena buatan Jerman. Sebaliknya malah aku senang beli made in Indonesia seperti pakaian dari bahan Batik. Ketika liburan berakhir, kami terbang lagi ke Jakarta dan dari sana kembali ke Frankfurt.





Sekolah di Jerman - menyenangkan!


Selama sekolah di Jerman, bagiku sungguh menyenangkan. Seingatku, aku tidak pernah malas ke sekolah. Ketika itulah masa terindah dalam usia remajaku.
Pada awal memasuki kelas 5, aku mendapat teman-teman baru lagi, karena sudah di sekolah yang baru. Ada juga beberapa yang berasal dari SD yang sama denganku, termasuk Selma, sahabatku orang Turki. Kami satu kelas dan satu bangku.
Bagi banyak murid di sekolah, tentu saja aku menjadi pemandangan yang aneh bagi mereka. Di sekolah itu, dimana terdapat lebih dari 500 murid, aku satu-satunya orang Asia. Dulu belum begitu banyak orang Asia di Jerman seperti sekarang ini. Teman-teman sering menyentuh rambutku karena sangat hitam, dan mengelus kulit lenganku karena cokelat. Mereka bilang aku cantik! Padahal untuk standar Indonesia, aku malah jelek. Itu bagi teman-teman yang “mengagumi”ku. Ada juga anak laki-laki yang suka meledek aku kalau ketemu di tangga sekolah (gedung sekolah bertingkat 3) atau di halaman sekolah. Mereka bernyanyi begini : ching chang chong Chinese im Kartong (Karton). Maksudnya orang Cina dalam karton. Mereka pikir aku orang Cina. Atau ada juga yang ngeledek begini sambil bernyanyi : Boxernase, Boxernase, Boxernase …..
Ada sejenis anjing dinamakan anjing boxer, dan hidungnya sangat pesek. Nah, karena hidungku pesek, mereka panggil saya Boxernase.Tetapi itu pada awalnya saja mereka usil, lama-lama juga hilang, dan kami malah berteman.
Jadi, apa yang membuat sekolah di Jerman menyenangkan? Pertama sistem belajar mengajarnya. Setiap kelas boleh melukis dinding kelas sesuai dengan thema yang diinginkan. Tidak ada dinding kelas berwarna putih, semuanya berwarna-warni. Kelas kami dilukis dengan pemandangan di tepi pantai. Tentu saja kombinasi warna yang cerah mempengaruhi mood untuk belajar. Belajar juga tidak kaku, kadang-kadang semua meja digeser ke pinggir, dan semua murid diminta untuk duduk di atas kursi membentuk lingkaran. Jadi semua dapat saling memandang. Cara belajar jauh lebih banyak dengan sistem diskusi, sangat jarang ada catatan pelajaran, apalagi yang namanya hafalan. Dengan cara seperti itu, pelajaran langsung lengeket di kepala. Karena materi pelajaran itu dibicarakan, dianalisa, dikupas tuntas. Kalau hanya dicatat, terus dihafal, ditanya bulan depan pasti lupa.
Para guru bisa dijadikan sahabat. Di Jerman, sangat jarang guru yang otoriter, yang ditakuti. Atau guru yang suka marah-marah. Soalnya kalau guru memukul murid, bisa dituntut sama orangtua. Guru di Jerman tidak kaku. Malah ada guru yang menawarkan untuk memanggil nama depannya saja. Walaupun demikian, murid tetap menghormati guru. Di sekolah, murid dilarang merokok. Murid menuntut hal yang sama dari guru, tidak boleh merokok, walaupun pada waktu istirahat atau di halaman sekolah. Dan para guru menyanggupi. Tidak ada sakit hati terhadap murid.
Kalau pelajaran Biologie, langsung masuk ke bioskop mini, yang terdapat di sekolah. Disana langsung belajar dengan cara menonton. Di kelas hanya mencatat sedikit. Beda lagi dengan Kimia dan Fisika, langsung ke Laboratorium. Tidak ada catatan, soalnya semua sudah ada dalam buku pegangan, buat apa lagi mencatat???
Yang paling lucu adalah mata pelajaran Bahasa Inggris dan Matematika. Karena dianggap paling sulit, maka untuk kedua pelajaran ini, dari beberapa kelas digabung menjadi 2 kelas yaitu kelas A dan kelas B. Kelas A adalah tempat berkumpulnya yang jago Matematika. Kalau kelas B harus lebih banyak belajar lagi karena dianggap kurang. Demikian juga dengan Bahasa Inggris. Setiap bulan dievaluasi, kalau seorang murid berada di kelas B, terus selama sebulan itu dia belajar dengan giat dan perkembangannya semakin maju, maka dia pindah ke kelas A. Sebaliknya bila seorang murid di kelas A ternyata nilainya mundur, dia harus pindah ke kelas B untuk belajar lebih intensif lagi.
Nah, aku ini yang aneh, kerjaku pindah terus setiap bulan. Dalam bahasa Inggris dan dalam Matematika. Bila aku bulan ini di kelas A, pasti bulan depannya aku dipindahkan ke kelas B. Bila bulan ini aku di kelas B, pasti bulan depannya aku boleh pindah ke kelas A. Apa artinya? Bahwa aku tidak panas, dan tidak dingin. Yah, sedang-sedang sajalah.
Sekali seminggu ada pelajaran memasak. Di sekolah ada ruangan yang sangat besar, dimana terdapat 5 dapur kecil dengan perlengkapan dapur yang komplit. Semua murid dibagi ke dalam beberapa kelompok, 3 – 4 orang untuk 1 dapur. Ibu guru menuliskan di whiteboard menu makanan yang harus kami masak. Bahan-bahannya semua disiapkan sekolah. Kelompok yang paling baik hasil masakannya mendapat nilai yang tertinggi. Dan masakan kami boleh kami makan.
Sekolahku dulunya adalah sekolah 1 hari, mulai jam 8.00 – 16.00. Siang hari ada istirahat selama 1,5 jam. Banyak kegiatan untuk mengisi waktu istirahat. Ada café dan ada Discothek di lantai bawah tanah. Bayangkan disco siang hari! Semua murid, bila mau makan siang dapat makan di kantin sekolah. Murid yang membayar tetapi dengan harga murah.
Ada juga extrakurikuler di sekolah. Aku memilih bahasa Jerman. Aku senang banget bahasa Jerman. Aku malah lebih baik dari beberapa orang Jerman dalam pelajaran bahasa Jerman. Bukan dalam berbicara tetapi terutama dalam penulisan yang benar. Aku selalu mendapat nilai 10 (atau di Jerman sama dengan nilai 1). Nilai 1 adalah “sehr gut” = sangat baik, sehingga Gereja memberiku beasiswa sebesar 100,- Deutsche Mark setiap bulan selama 6 tahun sejak aku pulang ke Indonesia. Teman-teman menganggap aku aneh kok ambil extra bahasa Jerman. Dari kelasku hanya aku yang ambil bahasa Jerman, digabung dengan kelas lain menjadi 4 orang. Yang 3 orang lagi adalah orang Jerman.
Kalau pelajaran Musik, bukan thoeri melulu, bukan juga praktek langsung alat Musik. Agar tidak bosan, guru pada awal pelajaran mengadakan kuis dulu tentang siapa yang menyanyikan lagu ini atau apa judul lagu itu. Bagi remaja itu sangat menyenangkan.
Wajar saja sekolah di Jerman itu tidak membosankan. Soalnya semuanya dynamis. Walaupun terkesan agak santai tetapi semuanya menganggap sekolah itu serius. Aku tidak pernah merasa takut datang ke sekolah, dan tidak ada guru yang ditakuti. semuanya saling menghargai.






Jalan-jalan ke Belanda dan Swiss


Kami sekeluarga berfoto di Vollendam dengan pakaian tradisional Belanda. Hampir semua turis yang datang ke Belanda akan berfoto seperti ini.

Kami berpose di halaman istana Kerajaan Belanda di Den Haag (hanya bagian istana yang dibuka untuk umum)

Jalan-jalan di kota Amsterdam. Pria bule di tengah adalah suami seorang wanita Batak (kenalan orangtuaku). Kami mengunjungi mereka di Amsterdam


Kami berfoto di Swiss

Ketika di Jerman, kalau libur sekolah, kami selalu pergi berlibur. Tetapi kebanyakan berliburnya ke Hamburg atau Triberg, atau yang dekat-dekat ke kota Koeln saja. Kalau ke luar negeri, sangat jarang, itupun yang dekat-dekat saja. Orangtuaku hemat, selalu menekankan kepada kami, kehidupan kami tidak seperti ini terus.Suatu saat harus pulang ke Indonesia! Mendengar itu saja aku sudah sedih.

Kami pernah ikut tour ke Luksemburg, tetapi hanya 1 hari. Yang kuingat, kami ikut tour naik bus bersama puluhan orang lain yang tidak kami kenal. Terus kami pernah ke Belgia selama beberapa hari, bukan untuk berlibur. Kalau tidak salah ada pertemuan yang berhubungan dengan gereja Indonesia, pendeta Indonesia yang tinggal di Eropa boleh membawa keluarga. Kami pernah ke Swiss selama 2 minggu. Bapakku pernah berkenalan dengan seorang pendeta dari Swiss. Beliau ini punya Cottage di pedesaan di Swiss, di kaki gunung. Kalau kami mau ke Swiss, kami dapat tinggal di Cottage itu selama liburan, gratis. Yang namanya gratis, hal itu cepat dimanfaatkan orangtuaku. Tetapi aku sangat berat ikut, aku sama sekali tidak tertarik. Karena saat itu aku lagi punya pacar. Bagiku sangat membosankan di desa Wildhausen, Swiss, tempat Cottage itu. Di daerah itu memang banyak Cottage yang disewakan. Yang kelihatan hamparan rumput, suara lembu, dan rasa sepi. Itu adalah perasaan seorang remaja yang lagi jatuh cinta dan jauh dari pacarnya. Kalau aku teringat, aku ingin banget kesana lagi, tapi kali ini beda, ingin menikmati.
Kami 2 x berlibur ke Belanda, karena memang dekat dari kota Koeln. Naik mobil selama 2 jam sudah sampai perbatasan Belanda. Menurutku Belanda itu menarik, sangat banyak yang bisa dilihat. Kami pernah menyewa Villa di Scheveningen, tidak jauh dari pantai. Kami jalan-jalan ke Amsterdam dan Den Haag, dimana terletak istana Kerajaan Belanda. Lagipula kesempatan bagi orangtuaku untuk membeli bumbu-bumbu Indonesia, karena di Belanda banyak orang Indonesia. Ke Austria juga sudah pernah, tetapi hanya dekat perbatasan saja, yang penting kaki sudah menginjak wilayah Austria, itu kata orangtuaku dulu. Oh ya, waktu ke Swiss, kami mengunjungi Liechtenstein, yang terletak di wilayah Swiss. Liechtenstein ini adalah suatu negara kerajaan kecil. Sama dengan Monaco yang terletak di wilayah Peancis.





Kehidupan kami di gereja Jerman



Foto bersama teman-teman selama 1 tahun belajar firman Tuhan, akhirnya di-sidi bersama. Aku lain sendiri dengan pakaianku, agak di luar jalur ....

Bapakku di Jerman bertugas sebagai pendeta biasa, di suatu Gereja di Koeln. Di Gereja itu ada 2 orang pendeta yang melayani, satunya adalah Pendeta Christoph Rusteberg (yang lama di kemudian hari menjadi temanku). Bapakku adalah pendeta kedua disana.


Jangan kira hidup di Jerman bergelimang kemewahan. Hidup di Jerman memang tidak mengalami hidup susah, tetapi juga tidak mewah. Untuk standar Indonesia bisa jadi mewah, tetapi untuk standar Jerman istilahnya hidup mapan. Bapakku pada awalnya naik sepeda kalau bekerja. Pendeta bekerja? Apa maksudnya? Ya, di Jerman itu pendeta adalah pelayan, bukan dilayani. Ada jadwal mengunjungi jemaat yang sudah tua atau yang berulangtahun. Banyak kegiatan di Gereja yang harus diawasi. Begitu padatnya jadwal kerja pendeta, sampai pendeta (termasuk bapakku) mempunyai sekretaris pribadi yang bekerja selama setengah hari.Jadi karena belum memiliki mobil, bapakku naik sepeda selama 1 tahun. Tahun ke-2 bapak sudah bisa membeli mobil second Sedan Ford.
Gereja tempat bapak bertugas adalah Gereja "Erloeserkirche Hoehenberg-Vingst". Gereja ini besar, dapat menampung 200 jemaat, tetapi yang datang paling juga 30 orang. Kalau Natal yang datang bisa sampai 100 orang. Banyak yang tidak percaya Tuhan. Atau hanya sebagai jemaat passiv, terdaftar agar bisa menikah di Gereja, agar anak-anak mereka bisa dibaptis di Gereja dsb.
Aku di-sidi di Gereja itu. Istilah itu adalah untuk anak remaja untuk menerima Tuhan Yesus sepenuhnya dalam hidupnya, karena pada usia itu dia sudah mengerti arti menerima Tuhan.Sebelumnya harus belajar 1 x seminggu di Gereja, selama 1 tahun. Pendeta Rusteberg memimpin satu kelompok remaja dan bapakku memimpin satu kelompok lagi. Aku termasuk kelompok Pendeta Rusteberg.
Duapuluh tahun kemudian aku beertemu lagi dengan Pendeta Rusteberg, sejak itu hubungan kami bukan lagi hubungan pendeta dan jemaat melainkan seperti teman, sampai sekarang.
Bapakku di Gereja juga berkhotbah, membaptis dan memberkati pernikahan kudus.
Ada cerita lucu. Di Jerman kalau di-sidi pada umumnya mengenakan pakaian hitam biru donker, putih, atau kombinasi warna itu semua. Terus modelnya juga formil. Aku berpikir, belinya mahal, terus setelah itu mau dipakai kemana pakaian itu? Makanya aku memilih pakaian yang berwarna-warni, setelah itu kemana-mana bisa kupakai. Agak lari dari jalur memang, coba lihat foto di atas. But I don't care what other people think or talk about me ....



Pulang ke Indonesia - betapa sedihnya!



Bapak duduk bersama beberapa pendeta di Gereja dalam rangka ibadah perpisahan kami. Paling kiri adalah Pendeta Christoph Rusteberg

Orangtuaku selalu mengatakan bahwa suatu saat kami akan pulang ke Indonesia. Tetapi ketika harus terjadi, aku tidak kuat menerima kenyataan ini.
Saat itu usiaku 16,5 tahun. Aku tidak ingin pulang tetapi orangtuaku tidak membolehkan aku tinggal di Jerman. Urusannya rumit. Selain itu aku anak perempuan mereka satu-satunya. Aku sudah sangat kerasan di Jerman, bahkan aku sudah berpikir seperti orang Jerman. Ketika datang ke Jerman, usiaku 10,5 tahun. Masih dalam tahap pertumbuhan dalam segala hal, dan pertumbuhanku itu kualami di Jerman. Tentu saja hal tersebut sangat mempengaruhi pola pikirku.
Sangat banyak yang harus kukorbankan. Dari kecil aku sangat suka membaca, dan koleksi buku-ku sangat banyak. Tetapi aku hanya boleh membawa beberapa buku saja, yang lainnya harus kutinggal karena ongkos kirimnya ke Indonesia terlalu mahal. Terus poster-poster artis kesayanganku, benda-benda pribadiku, semuanya harus kutinggal. Aku hanya boleh membawa pakaian saja. Aku merasakan itu kejam, seperti sebagian kehidupanku direnggut secara paksa.
Orangtuaku membawa banyak peralatan elektronik seperti TV 29 inch, Video, mesin cuci pakaian, mesin pencuci piring, alat seterika khusus untuk sprei, kulkas, kompor listrik, 1 set HiFi Stereo, Vacum Cleaner besar dan Projektor. Itu semua diberikan Gereja sebagai hadiah,dan juga segala ongkos pengiriman ke Indonesia ditanggung Gereja. Tetapi ada batasnya, sehingga barang-barang kesukaanku harus dikorbankan demi peralatan elektronik canggih. Dan apa yang terjadi? Di kemudian hari semua peralatan itu tidak bisa dipakai. Soalnya dari Jerman kami dipindahkan ke Tarutung, suatu kota kecil di Tapanuli Utara, Sumatra Utara. Arus listrik tidak cukup, lagipula secara teknis memang tidak cocok dipakai di Indonesia. Maka,semua peralatan itu akhirnya menjadi tak berguna dan tak berharga.
Aku sangat sedih harus berpisah dari teman-temanku. Terutama dengan Selma dan keluarganya. Mereka tinggal di sebuah apartemen, hanya 200 m dari rumah kami. Orangtua Selma sudah menganggap aku sebagai anak mereka, dan aku sangat dekat dengan adik-adik Selma, Kadir dan Rezep (pada saat itu berusia 2 tahun). Duapuluh tahun kemudian, ketika aku berkunjung ke Jerman, aku mengalami kasih mereka yang luar biasa terhadapku.
Kami terbang kembali ke Indonesia. Hatiku benar-benar terkoyak meninggalkan kehidupanku di Jerman. Kelak aku memang sangat sulit menyesuaikan diri di Indonesia. Dari Jerman kami ke Jakarta dulu. Terus kami naik bus ke Semarang dan Salatiga mengunjungi adik-adik bapakku disana. Dari Jakarta kami terbang ke Pekanbaru mengunjungi adik ibuku. Dari Pekanbaru kami terbang ke Medan.
WELCOME TO MY LIFE IN INDONESIA!
myspace layout codes

myspace layout




myspace layouts images

myspace layouts